Masyarakat Beutong Ateuh di Nagan Raya, Aceh sepakat menolak perusahaan tambang emas masuk wilayah mereka. Sebuah kenduri digelar dengan doa-doa.
Warga empat desa di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, pada Senin (29/5/2023), meriung di tepi aliran sungai air jernih. Ada berteduh di bawah tenda hingga sibuk memotong daging.
Dengan uang patungan, warga bermukim di lembah Gunung Singgah Mata itu menggelar kenduri tolak tambang: cara warga menjaga tanah kelahirannya dari rencana masuknya perusahaan tambang emas ke kampungnya. Lokasi kenduri pun digelar di Alue Baro.
“Lokasi ini bekas kamp perusahaan tambang dulu,” kata Teungku Malikul, warga Beutong Ateuh, kepada acehkini, Selasa (30/5/2023).
Perusahaan itu semula memperoleh izin usaha pertambangan emas di Beutong Ateuh Banggalang. Kamp pekerja pun dibangun di sana setelah Badan Koordinasi Penanaman Modal meningkatkan izin eksplorasi menjadi produksi pada 2017 di areal 10 ribu hektare.
Warga semua desa di Beutong Ateuh: Babah Suak, Kuta Teungoh, Blang Puuk, dan Blang Meurandeh, sepakat menolaknya. Sejumlah unjuk rasa digelar di Beutong Ateuh, juga di Banda Aceh oleh mahasiswa.
Di samping jalur demonstrasi, gugatan melalui pengadilan juga didaftarkan warga Beutong Ateuh yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh. Perjuangan panjang warga menuai hasil saat Mahkamah Agung pada April 2020 di tingkat kasasi memutuskan mencabut izin operasi perusahaan itu di Beutong Ateuh.
Di Beutong Ateuh, warga kemudian meminta pekerja angkat kaki. Kamp yang ditempati lantas dibongkar.
Ratusan Warga Beutong Ateuh di Nagan Raya Unjuk Rasa Tolak Tambang Emas
Beutong Ateuh, negeri sejuk dan tenang, itu beberapa tahun kemudian kembali ‘terusik’ dengan rencana masuknya perusahaan lain. Kamis (25/5/2023) siang, seluruh warga dari empat desa turun ke jalan. Pria, perempuan, dan bahkan anak-anak ikut serta memadati jalan di bawah sinar matahari yang terik.
Mereka mengadang tim yang disebut bakal menyurvei lokasi tambang di Beutong Ateuh. Warga berorasi di tengah jalan. “Sampai mati kami akan mempertahankan tanah Beutong Ateuh,” kata seorang orator, yang kemudian disambut teriakan massa.
“Tambang tidak boleh ada di Beutong Ateuh, kami ingin tanah air kami tidak kotor,” kata seorang perempuan di antara massa.
Soal tambang, bagi warga Beutong Ateuh, bukan perusahaan saja–yang secara hukum legal–ditolak, melainkan juga ilegal. “Atas nama tambang baik legal atau ilegal tetap kami tolak,” kata Teungku Malikul.
Penolakan ini punya dasar kuat. Mereka tak ingin tanah Beutong Ateuh yang ‘keramat’ itu ‘dirusak’. Tempat itu punya sejarah panjang, misalnya, menyelamatkan Cut Nyak Dhien saat perang melawan Belanda. Di kawasan hutan Beutong Ateuh, makam para syuhada yang mempertahankan Aceh pun bertebaran.
Beutong Ateuh juga memenuhi lembaran sejarah lainnya saat ulama besar Teungku Bantaqiah, anaknya, dan 54 santri meninggal karena ditembak di kompleks pesantren di Gampong Blang Meurandeh, 23 Juli 1999. Dan kedatangan perusahaan tambang di sana, laiknya menabur garam di celah luka lama yang belum pulih di Beutong Ateuh.
Bagi warga Beutong Ateuh, menolak tambang di kampungnya bukan sekadar melestarikan lingkungan, tapi juga melindungi situs sejarah leluhurnya.
Di tepi aliran sungai yang jernih, Senin kemarin, warga Beutong Ateuh larut dalam zikir dan doa bersama. “Dengan kenduri ini kami meminta kepada Allah dengan berkat para syuhada dan aulia serta orang-orang saleh semuanya, semoga Aceh dan Beutong Ateuh Banggalang selalu terjaga,” kata Teungku Malikul.
Menurut Teungku Diwa, tokoh masyarakat Beutong Ateuh, kenduri tolak tambang itu bentuk syukur karena Allah telah memberi petunjuk dan hidayah bagi warga yang masih menghargai tempat aulia dan syuhada.
“Ini semoga menjadi pusaka yang kita wariskan sampai terus menerus ke generasi berikutnya,” katanya.[]