Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan keinginannya untuk menggarap film hubungan Kekaisaran Ottoman dan Kesultanan Aceh di masa lalu. Hal itu disampaikan saat bertemu Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Mehmet Nuri Ersoy, di Ankara, Turki, Rabu (9/4/2025),
Pemerintah Aceh mendukung rencana itu. “Bapak Gubernur menyambut dengan antusias rencana besar ini. Pemerintah Aceh siap memberikan dukungan penuh, termasuk mengikutsertakan tim terbaik untuk melakukan kajian mendalam terhadap sejarah hubungan Aceh dan Ottoman,” kata Akkar Arafat, Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Aceh meneruskan respons Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Ahad (13/4/2025).
Dalam catatan sejarah, hubungan Aceh dan Ottoman (Turki) terjalin sejak abad ke-16, saat bangsa Eropa melirik nusantara untuk berdagang rempah-rempah. Hubungan itu tak terlepas dari keberadaan Portugis menancapkan pengaruhnya untuk monopoli perdagangan di sekitaran Selat Malaka. Kesultanan Aceh sebagai bangsa berdaulat kala itu merasa terganggu.
Kesultanan Aceh menguatkan pertahanan laut dengan membeli sejumlah meriam dari luar negeri, memproduksi kapal-kapal perang galley untuk menjaga kedaulatan di Selat Malaka.
Meriam dan kapal belakangan diproduksi sendiri oleh Kesultanan Aceh yang dipusatkan di Gampong Pande. Kisah pembuatan meriam di Aceh berawal dari kerja sama Aceh dengan Turki di masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1537-1568).
Kala itu, Aceh meminta bantuan Kesultanan Turki Usmani (Ottoman) yang sedang dipimpin oleh Sultan Selim II, untuk memerangi Portugis. Pada September 1567, Sultan Selim II melakukan ekspedisi besar-besaran ke Aceh dipimpin oleh Laksamana Kurduglu Hizir Reis. Bantuan yang dikirimkan berupa dua kapal perang, sejumlah meriam, 500 prajurit dan ahli militer yang mampu membuat kapal, meriam dan ragam senjata tajam. Dalam catatan sejarah, peristiwa ini dikenal dengan Ekspedisi Usmaniyah ke Aceh.
Para ahli senjata Turki melatih orang-orang Aceh untuk membuat senjata, hingga mampu memproduksi meriam, dan senjata tajam lainnya. Selain meriam ukuran besar, juga meriam ukuran kecil yang disebut lila.
Mualem Dukung Penuh Rencana Menbud Fadli Zon Garap Film Hubungan Aceh – Ottoman
Kerja sama dengan Turki terus berlangsung di masa-masa sultan selanjutnya. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), hubungan dengan Turki agak renggang karena sultan lebih fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam beberapa perang di Malaka. Setelah rakyat dalam negeri Aceh benar-benar makmur, maka hubungan dengan Turki dibuka kembali.
HM Zainuddin (1957) menuliskan, Sultan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan ke Sultan Turki sebagai persembahan dari Aceh. Ia juga meminta kepada Mufti Kerajaan, Syeikh Nuruddin Ar Raniry untuk menulis sepucuk surat dalam bahasa Arab.
Surat itu kemudian disampul dan dibalut dengan kain sutera sebagai bentuk kemuliaan. Untuk membawa surat itu ditugaskan Panglima Nyak Dum sebagai kepala rombongan. Dalam rombongan khalifah Panglima Nyak Dum juga disertakan dua orang juru bahasa yang ditunjuk oleh Syeikh Nuruddin Ar Raniry, satu ahli bahasa Arab, satu lagi Hindi.
Dalam perjalanannya, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras tapi terbawa angin ke Calcuta. Beberapa lama di situ, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromandel, sepanjang Teluk Benggala hingga ke Madras.
Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Persia hingga ke Bombay (Mumbai) menyeberang menuju Madagaskar terus ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum menuju laut Atlantik sampai ke Istambul, Turki.
Perjalanan dari Aceh menuju Turki itu menghabiskan waktu sampai dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sultan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.
Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstatinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh karena barang persembahan Sultan Iskandar Muda untuk Sultan Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada. Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada Sultan Turki dari Sultan Aceh.
Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar dan diantar ke istana. Sampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sultan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada. Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah. Sultan Turki memaklumi hal itu.
Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sulthan Turki tentang tindakan Portugis di Selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sultan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.

Setelah sekitar tiga bulan delegasi Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sultan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-alat perang untuk Iskadar Muda. Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutserakan 12 orang ahli militer Turki dan pelayaran untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.
Meriam besar dan meriam kecil (lila) mengambil peran besar dalam menghadapi invasi Belanda setelah menyatakan perang dengan Aceh pada 26 Maret 1873. Setelah gagal dalam agresi pertama, Belanda melancarkan agresi kedua secara besar-besaran ke seluruh penjuru Aceh.
Pada 24 Januari 1974, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Van Swieten berhasil menguasai Istana, tetapi dalam keadaan kosong setelah ditinggalkan Sultan Alauddin Mahmud Syah, beserta keluarga dan pengawalnya. Di Istana, Belanda menemukan hampir seratus meriam berbagai ukuran, meriam-meriam itu ditinggalkan begitu saja oleh pejuang Aceh, karena tak mungkin diangkut dalam perang gerilya.
Meriam lila yang mudah dibawa-bawa tersebar di lini-lini pertahanan Aceh, di markas-markas pejuang dan ikut dipergunakan dalam sejumlah perang gerilya. []
Bahan dari buku “Rencong dan Senjata Lainnya dalam Lintasan Sejarah Aceh” karya Adi Warsidi dkk, terbitan Keurukon Katibul Wali, Aceh.