Azhari sangat visioner dalam menangkap isu yang patut diangkat ke permukaan lewat film dokumenter. Misalnya, mengenai hikayat Aceh, salah satu karya kesusastraan Aceh yang punya nilai sejarah tinggi.
Salah satunya, Hikayat Prang Sabi. Hikayat ini bisa dibilang hikayat Aceh yang sangat populer hingga memaksa Belanda untuk memusnahkan salinan-salinannya. Hikayat karangan Teungku Chik Pante Kulu itu berhasil menggugah semangat juang rakyat Aceh melawan kolonialisme.
Oleh karenanya, sangat menarik ketika Azhari mengangkat isu hikayat Aceh dalam film dokumenter berjudul Hikayat: Seni Tutur Negeri Serambi. Film ini diputar di bioskop alternatif “Aceh Menonton” dalam program bertajuk “Citadel Van Antwerpen” di Gedung Balai Pelestarian Nilai dan Budaya Aceh (BPNB) yang terletak di Gampong Mulia, Kota Banda Aceh, Selasa malam (26/3/2019).
Pemutaran film itu sekaligus memperingati peristiwa bersejarah Perang Aceh yang terjadi pada 26 Maret 1873. Jadi, 145 tahun lalu, Belanda mengultimatum perang Kerajaan Aceh Darussalam dengan melepaskan serangan meriam ke daratan Aceh melalui kapal perang Citadel Van Antwerpen.
Malam itu, Aceh Menonton tak hanya memutarkan film karya Azhari. Diputar juga film berjudul Liefde, yang berkisah tentang seorang seorang pemuda Belanda yang menemukan fakta dari sebuah foto bahwa nenek buyutnya adalah orang Aceh.
Film Hikayat: Seni Tutur Negeri Serambi menceritakan mengenai hikayat Aceh dari menjadi senjata tak kasat mata dalam membangkitkan semangat kala berperang, hingga nasibnya pada saat ini.
Film ini menyoroti seorang penghikayat Aceh asal Aceh Selatan, bernama Muda Balia. Film dibuka dari penampilan Muda Balia saat pentas di Pekan Kebudayaan Aceh ke-7.
Dalam hikayatnya, Muda Balia menyindir ketidakadilan Pemerintah Indonesia. Kemudian pada babak berikutnya, Muda Balia mulai menceritakan awal mula dia mempelajari hikayat, serta sejarah hikayat hingga eksis di dalam istana Kerajaan Aceh Darussalam, tempo dulu.
Usai pemutaran film itu, Aceh Menonton juga menggelar program diskusi terkait dua film yang diputar bersama pemerhati sejarah Aceh.
Sebagai programmer Aceh Menonton, saya menemukan wacana baru dari film Hikayat: Seni Tutur Negeri Serambi. Hikayat tidak bisa dijadikan sumber sejarah yang utuh. Sebab, ia memuat berbagai kisah fiktif dalam substansinya dan jauh dari faktual.
Ini mengarahkan saya dalam sebuah perbandingan dengan film. Secara luas, film–dokumenter maupun fiksi–bisa menjadi jembatan untuk menelusuri isu yang muncul pada kurun waktu tertentu. Ini tidak berbeda dengan karya seni rupa.
Festival film dan pameran seni rupa (arus utama seperti Biennale, maupun bukan) bisa menjadi titik tumpuan menelusuri sebuah wacana sosial, kultur, psikologis, dan ideologi masyarakat dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
Pada Festival Film Dokumenter Yogyakarta, misalnya, tiga film dokumenter Aceh yang mengangkat isu ekploitasi anak secara berturut-turut terpilih sebagai film terbaik.
Pahun 2014, isu migrasi masyarakat di Asia menjadi isu utama yang diangkat menjadi tema pada Kyoto Visual Documentary Project. Biennale Equator yang merupakan proyek Yayasan Biennale Yogyakarta mengangkat isu “pinggiran” sebagai tema pameran seni rupa.
Lalu seperti apa hubungannya dengan hikayat?
Menurut saya, hikayat mungkin bisa menjelaskan wacana sosial, kultur, psikologis, dan ideologi masyarakat pada masa tertentu. Bagaimana mistisme atau ekspresionisme tertuang dalam karya-karya hikayat.
Sebagaimana hikayat yang dipersembahkan oleh Muda Balia dalam sesi diskusi Aceh Menonton malam itu tentang Malem Diwa dan Putroe Bansu.
Kisah-kisah yang mengandung unsur mistis dan ekspresionis itu bisa menjelaskan tentang pengaruh yang sangat besar di dunia Melayu oleh kepercayaan terhadap hal-hal supranatural.
Ini tentu tidak berbeda dengan karya prosa. Saya pernah ditantang untuk menemukan dalil dari sebuah kisah di dalam kitab Jam’ul Jawami’ul Mushannifat–dikenal sebagai Kitab Lapan di Melayu.
Kisah itu menceritakan tentang seorang pemuda yang berhasrat menikahi anak raja dan menerima tantangan untuk menemukan tiga butir mutiara di lautan Sailan. Terlepas dari benar atau tidaknya kisah itu, sebelum Arab dikenal sebagai raksasa minyak di dunia, lautan Arab adalah penghasil mutiara terbesar. Ini hadir pula dalam penggalan puisi karya penyair masyhur Timur Tengah, Firdausi.
Penyair Mesir, Muhammad Hafiz Ibrahim, juga mengisahkan lautan Arab dalam satu abad silam dalam penggalan puisinya, “Akulah sang laut, di kedalamanku semua harta berdiam, pernahkah mereka menanyai penyelam tentang mutiaraku?”
Pada masa Hafiz, mutiara adalah sumber daya paling berharga di Teluk Persia, dan 70.000 orang terlibat untuk mengumpulkannya.
Berburu mutiara juga merupakan kebanggaan budaya yang mendalam. Bagian dari tradisi kelautan yang sama Arab-bya dengan gurun pasir dan kurma. Ketika datanglah minyak, maka cara hidup melaut yang telah bertahan ribuan tahun itu pun sirna.
Di sini, saya menemukan titik terang dari sebuah hikayat. Bagaimana ia tidak hanya sebagai karya sastra, tetapi sebagai jembatan yang mengantarkan penikmatnya kepada suatu masa di mana masyarakatnya melakukan sesuatu dan terpengaruhi oleh suatu hal pula.
Visi Azhari terhadap hikayat Aceh sangat jelas. Dia berbicara melalui filmnya, bagaimana hulu dan hilir serta seharusnya penonton merespon tema yang diangkat melalui film dokumenter itu.
Film Hikayat: Seni Tutur Negeri Serambi membawa penontonnya pada masa di mana seni dan sastra adalah sesuatu pencapaian tertinggi dalam peradaban Aceh. Selamat Hari Film Nasional. []
Penulis: Akbar Rafsanjani