Ummi masih ingat persis berapa lama ditahan di Rumoh Geudong, setelah seorang cuak melapor ke aparat bahwa Ummi membantu GAM. Berbagai peristiwa di Pos Sattis TNI itu sepanjang 1989-1998 hanya sekelumit cerita duka, dari sekian banyak dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu Aceh.
Naskah ini dikutip utuh dari buku ‘FAKTA BICARA: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005’ yang diterbitkan pada April 2011 oleh Koalisi NGO HAM Aceh, dipimpin oleh Evi Narti Zain. Sementara Adi Warsidi dan Nashrun Marzuki menjadi editor buku itu: bertugas dari perencanaan sampai mengawal reportase yang dilakukan Kahar Muzakar dan Mellyan.
Kisah ini kami tampilkan bukan untuk mengungkit luka lama, saat konflik Aceh masih mendera, tapi untuk pembelajaran agar perang tak berulang.
Kisah Korban Rumoh Geudong: Bayi Kembar Lahir di Rumah Penyiksaan (2)
***
Sama seperti Mar, salah seorang korban Rumoh Geudong lainnya juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, namanya Ummi Salamah Gani, ia berasal dari desa lancang timur, kecamatan Kembang Tanjong. Dari kota Sigli ke Kembang Tanjong berjarak sekitar 15 km.
Ummi Salamah hanya pernah mendapat bantuan Rp 10 juta dari BRA. “Ada diberi bantuan sepuluh juta. Apa cukup dengan uang itu? Mereka (mantan kombatan) berapa ratus juta, proyek ini dan itu. Ketika lebaran kan enggak ada salahnya diberi kain sarung dan sirup. Lihatlah nanti akan kena bencana lagi. Sebenarnya kita enggak perlu meminta, tapi saya coba minta daging sekilo, enggak ada. Katanya ia juga sama seperti saya. Saya sakit hati dengan mereka.”
Menurut Ummi, mantan kombatan sekarang banyak yang telah melupakannya. Rumahnya pernah dibakar tahun 1990. Ia sudah melapor ke kantor BRA, rumah batuan tersebut belum diberikan kepada Ummi. Setelah tsunami 2004 lalu, ia mendapatkan bantuan rumah untuk korban tsunami, bukan sebagai korban konflik.
Menurutnya, mantan kombatan sekarang berbeda dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) atau Aceh Merdeka (AM), sebutan untuk angkatan awal dari GAM. Ummi menilai anggota AM dulu lebih peduli pada masyarakat.
“Mana ada lagi mereka (AM) sekarang, sudah habis semua kena peluru. Sebagian di luar negeri. Mana mau mereka pulang, keadaannya begini. Kalau GAM, kita ini enggak ada arti. Orang yang dulu pegang senjata sekarang kerja di sawah,” tuturnya.
Ummi kelahiran 1945, namun ia masih tampak bugar dan tetap bersemangat menceritakan kisah yang telah dilaluinya. Sejak tiga kabupaten di Aceh, yaitu Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur ditetapkan menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, ia mulai membantu gerakan yang pada awalnya disebut GPK atau AM.
Tahun 1990-an, ia mulai menerima GAM di rumahnya, kemudian ia ikut dengan Abdullah Syafi’i, karena Tgk Lah melihat Ummi di dalam hutan, di Cot Pedoman, pedalaman Jeunieb, Kabupaten Bireuen sekarang.
Waktu itu Ummi dan anggota GAM lainnya dikejar-kejar oleh tentara. Ia sering kali kelaparan di hutan. Ia ikut Abdullah Syafi’i bergerilya mengelilingi hutan Aceh, sampai ke Tapak Tuan, Aceh Selatan, hingga hutan Meulaboh, Aceh Barat.
“Saya ditangkap karena terima GPK di rumah, bukan GAM. GPK itu baik, GAM itu bagi saya hanya orang yang sekadar melihat-lihat atau sekadar lewat saja. Bukan orang yang ikut berperang. Enggak usah tanya sejarah perang sama mereka, tanya sama saya, semua tersimpan dalam kepala ini. Sekarang, kalau ada perang lagi saya masih mau ikut.”
Ia juga pernah membantu mereka yang terluka dan kelaparan dalam hutan, bahkan ia masih mengingat beberapa nama yang ia tolong, seperti Robert, Jaman Burak, dan Arjuna.
Selain menerima kombatan, Ummi juga sering kali berkeliling Aceh untuk mencari gadis-gadis muda yang berasal dari pedalaman Aceh untuk dinikahkan dengan petinggi-petinggi AM di luar negeri, para petinggi tersebut memberikan kriteria calon istri yang harus dicari oleh Ummi.
Yaitu harus asli Aceh, santri pesantren dan miskin. Sendirian ia mengantarkan calon istri GPK dari Aceh, dibawa ke Medan, Sumatera Utara, sampai ke Tanjung Balai Malaysia.
“Tujuh kali saya ke Malaysia melalui jalan laut, hebatnya kami, selalu mengarungi laut membawa istri untuk mereka, syaratnya mereka mau lapar, karena perang,” ujarnya.
Selain mencari istri untuk GPK, Ummi juga berjumpa Malek Mahmud di Singapura dan pernah ke luar negeri membelikan senjata untuk GPK.
Demi membantu AM, Ummi bolak-balik Malaysia-Aceh dengan mempertaruhkan nyawa. Di Malaysia, ia kerap melalui pemeriksaan polisi wanita, beruntung pemeriksaan tidak sampai ke bagian paling pribadi, karena ia sering menyembunyikan uang di kemaluannya. Baik untuk membeli senjata atau membawakan istri untuk para petinggi AM.
Ia juga pernah tinggal di hutan Montasik, Aceh Besar. Selama satu bulan kelaparan. Ia nekat ke Simpang Aneuk Galong, Aceh Besar, sekitar 20 kilometer dari Banda Aceh. Ia bertemu dengan Kopassus. Mereka bertanya banyak hal pada Ummi, namun ia pintar berkelit dan tentara tersebut percaya.
“Dari mana bu,” tanya tentara pada Ummi waktu itu.
“Mau ke Darussalam, anak saya kuliah di sana.”
“Kami sedang cari seseorang, dia membantu Abdullah Syafi’i, Daud Paneuk dan Wali Nanggroe.”
“Pokok jih meupu ditanyoeng, meupu lon jaweub.”
Kisah Korban Rumoh Geudong: Disetrum dan Digantung karena Dituduh GAM (1)
Ia ingat saat Hasan Tiro meminta salah satu anak lelakinya dibawa dan dilatih ke Libya, Ummi sedih harus berpisah dengan anaknya, namun ia rela karena anaknya akan mendapatkan pendidikan di tempat barunya. Sekarang anaknya yang bernama Lukman Hakim berada di Denmark.
“Seandainya bisa, sejarah itu jangan diceritakan lagi, terlalu menyakitkan. Makanya ketika saya tahu dari HAM, saya bilang sama cucu, untuk membawa saya wawancara dengan orang HAM, mungkin bisa dapat beras satu bambu,” ujar Ummi ketika ia tahu Koalisi NGO HAM akan mewawancarainya.
Ummi adalah korban Rumoh Geudong, karena ada cuak yang melapor bahwa Ummi membantu GAM. Ia mendekam 4 bulan kurang lima hari di sana.
Saat diperiksa, ia ditanyai tentang Wali Nanggroe, Daod Paneuk, dan Abdullah Syafi’i. Setelah beberapa hari di Rumoh Geudong, Empat tawanan dibawa keluar dari Rumoh Geudong, termasuk Ummi. Ada yang dibawa ke arah Tiro dan Ummi sendiri dibawa ke Rancong, sebuah kamp penyiksaan di Aceh Utara.
Bersambung