Peristiwa Rumoh Geudong hanya sekelumit cerita duka, dari sekian banyak dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu Aceh yang belum tuntas di mata korban dan secara hukum.
Naskah ini dikutip utuh dari buku ‘FAKTA BICARA: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005’ yang diterbitkan pada April 2011 oleh Koalisi NGO HAM Aceh, dipimpin oleh Evi Narti Zain. Sementara Adi Warsidi dan Nashrun Marzuki menjadi editor buku itu: bertugas dari perencanaan sampai mengawal reportase yang dilakukan Kahar Muzakar dan Mellyan.
Kisah ini kami tampilkan bukan untuk mengungkit luka lama, saat konflik Aceh masih mendera, tapi untuk pembelajaran agar perang tak berulang.
***
Menjelang Magrib, 17 Juli 1997, tentara membawa Mr dan suaminya, Tgk. Hf dari rumahnya di Tangse menuju Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron, Glumpang Tiga, Pidie.
Sesampainya di sana, mereka diperiksa secara bergiliran, dan ditahan. Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 WIB, Hf kembali diperiksa dengan cara disetrum, dipukuli. Mereka berdua ditelanjangi. Kabel hitam dijepitkan pada kemaluan dan kabel merah di payudara.
Kemudian mereka diperiksa secara terpisah, pelaku ingin mengetahui jawaban dari pasangan suami istri tersebut. Aparat TNI bertanya kepada Mr dan Hf tentang Abdullah Syafi’i (Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka – saat itu), dan orang-orang yang membantu Panglima GAM yang akrab dengan panggilan Tengku Lah tersebut.
“Ku peugah kuturi Abdullah Syafi’i dan kuturi ureung yang bantu Tengku Lah (saya katakan pada mereka, saya kenal Abdullah Syafi’i serta orang yang membantunya),” ujar Mr.
Mendengar jawaban tersebut, Kopassus dibantu oleh beberapa cuak (tenaga pembantu operasi) Aceh mengancam akan menembak Hf. Tapi kemudian niat tersebut diurungkan, Mr dan Hf kembali disiksa dengan cara disetrum dan ditelanjangi.
Mr mencoba melawan, ia melarang Kopassus dan cuak menyiksa sang suami, namun perbuatannya membuat mereka marah dan balik menyiksa Mr. “Han ku bi kontak lako lon, dikontak lon (saya melarang mereka menyetrum suami, malah saya yang disetrum),” kisahnya.
“Sekarang saya rela mati daripada disiksa,” ujarnya waktu itu.
Hf dan Mr duduk berdampingan dalam keadaan telanjang. Aparat mulai mengarahkan senjata ke arah pasangan suami istri tersebut. Namun mereka berhenti, membatalkan niatnya untuk menembak mereka.
Pukul 09.00 WIB di Rumoh Geudong, anak mereka juga ikut dibawa ke rumoh Geudong. Bayi yang masih berumur 18 bulan itu digantung di atas Rumoh Geudong. Lalu Kopassus dibantu oleh cuak melempar binatang berbisa (seurabe) ke arah bayi tersebut.
“Itu yang membuat saya paling sedih, saya teriak-teriak mohon anak saya tidak diperlakukan seperti itu, aneuk lon dikab le seurabe reuhung bak ming dan bak dada jih. (anak saya digigit tawon di pipi dan dada),” ujar Mr mulai terisak.
Di Rumoh Geudong Mr tiga hari sekali diperiksa, setiap pemeriksaan pasti mereka disiksa. Sering kali ia disetrum, alat setrum diletakkan di hidung dan di kemaluan, perlakuan yang sama juga dialami sang suami, karena saat itu Mr sedang hamil enam bulan, ia pindahkan alat setrum ke pahanya, sampai sekarang bekasnya masih bisa dilihat.
“Karena hamil, jaroe lon hana diikat jadi lon peuse alat kontaknya, karena lon teungoh meume. (karena hamil, tangan saya tidak diikat, saya pindah kan alat setrumnya ke paha),” ceritanya.
“Nyoe mate aneuk lon, kah tanggong jaweb beuh,(Kalau anak saya mati, kamu yang tanggung jawab ya!),” ujarnya kepada Saifuddin, salah satu cuak di rumoh Geudong).
“Hana peurele tupue lon, lon dari Aceh Timu (saya enggak perlu tahu, saya dari Aceh Timur),” Mr menirukan ucapan Saifuddin waktu itu.
“Peu awak Aceh Timur, adoe kah GAM cit di gampong lon dimeuwed-wed, hana pue ceuek-ceuek kah. (apanya orang Aceh Timur, saudara kamu GAM, di kampung saya. Enggak usah banyak gaya),“ jawab Mr marah, ia sering menyebut cuak di rumah gedung dengan sebutan anak haram.
Perlakuan lainnya, ketika Mr turun dari Rumoh Geudong, ia sering dilempari batu dari belakang, padahal ia sendiri dalam keadaan sangat lemah. Dia sering diturunkan pukul 09.00 WIB dan baru dinaikkan kembali ke Rumoh Geudong sekitar jam 01.00 WIB dini hari.
Salah satu penyebab ia berada di Rumoh Geudong adalah tuduhan membantu GAM. Memang ia membantu gerilyawan dengan menyimpan sembilan senjata dan memberi 12 pasang baju. Anggota GAM pernah memberi Mr uang Rp 10 juta untuk belanja keperluan mereka di dalam hutan. Berapa pun sisa uang yang diberikan, pasti dikembalikan oleh Mr setelah membeli keperluan berupa ikan teri, kue, obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
Ia juga membeli plastik kaca dalam jumlah yang banyak, sering kali ia berpapasan dengan tentara ketika hendak mengantarkan bekal tersebut.
“Untuk apa kak, banyak sekali plastiknya, apa untuk GAM?,” tanya tentara suatu hari. “Bukan, untuk tutup pinang dan kandang lembu, kalo enggak percaya lihat di rumah,” ujarnya beralasan.
Mr juga sering memasak nasi untuk GAM, nasi dimasukkan dalam timba dan diantarnya ke pinggir hutan, ketika berjumpa dengan tentara, ia beralasan mau mencuci, karena sumur memang jauh dari rumahnya.
Sewaktu tentara melakukan penyisiran, mereka menemukan roti sebanyak dua karung di dalam hutan, tentara mulai curiga masyarakat sering mengantar makanan dan membantu GAM.
[Bersambung]