Mr pernah minta keluar dari Rumoh Geudong, karena anaknya sakit, kepalanya luka. Karena permintaannnya, Mr ditendang di perut, padahal waktu itu ia sedang hamil, ia ditendang berkali-kali.
Naskah ini dikutip utuh dari buku ‘FAKTA BICARA: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005’ yang diterbitkan pada April 2011 oleh Koalisi NGO HAM Aceh, dipimpin oleh Evi Narti Zain. Sementara Adi Warsidi dan Nashrun Marzuki menjadi editor buku itu: bertugas dari perencanaan sampai mengawal reportase yang dilakukan Kahar Muzakar dan Mellyan.
Kisah ini kami tampilkan bukan untuk mengungkit luka lama, saat konflik Aceh masih mendera, tapi untuk pembelajaran agar perang tak berulang.
Baca postingan sebelumnya:
Kisah Korban Rumoh Geudong: Disetrum dan Digantung karena Dituduh GAM (1)
***
Mr teringat pasukan Kopassus dan cuak sering kali makan mie atau makanan lainnya di bawah Rumoh Geudong yang berbentuk panggung, wanginya tercium sampai ke kamar para tawanan. Mr merasa sedih, aroma makanan yang terbawa angin membuat liurnya menetes.
Padahal ia juga sedang ingin makan nasi gurih, nasi goreng, roti, dan mie. Ia sering menghayalkan makanan yang ia inginkan. Namun kenyataanya untuk makan saja, Mr harus berlomba-lomba dengan tikus.
Seringkali ia menjemur nasi tanpa lauk yang diberikan sehari sekali. Kalau sedang tidak sanggup makan ia menjemur nasi di atas kertas, kebetulan banyak majalah berserak di lantai.
Pertama dibawa ke rumoh geudong, ia masih ditempatkan di dalam ruangan besar, kemudian dibuat kamar kecil bersekat dalam satu kamar lima sampai sebelas orang.
Dalam satu hari Mr melihat dua atau tiga tawanan dibawa keluar menggunakan mobil. Mata ditutup dengan kain hitam, sampai dalam mobil tawanan dimasukkan dalam karung, dengan keadaan seperti itu korban dipaksa untuk duduk. Lalu dililit dengan tali kabel. Kemudian dibawa ke suatu tempat.
Menurut Mr, korban di Rumoh Geudong sangat banyak jumlahnya. Bahkan menurut cerita suaminya, ada tawanan bernama Abu Nie dikubur hidup-hidup dalam posisi duduk di pekarangan Rumoh Geudong.
Ada juga korban yang meninggal ketika digantung, karena Mr hamil, ia tidak terlalu dikurung. Jadi ia sering keluar dan melihat perlakuan yang dialami tawanan di Rumoh Geudong. Selain disiksa, sepeda motornya juga diambil tentara dan satu ekor lembunya ditembak.
Mr pernah minta keluar dari Rumoh Geudong, karena anaknya sakit, kepalanya luka. Karena permintaannnya, Mr ditendang di perut, padahal waktu itu ia sedang hamil, ia ditendang berkali-kali.
Empat bulan kemudian ia melahirkan di Rumoh Geudong, dibantu seorang bidan bernama Cut. Ia melahirkan bayi kembar, bayi perempuan lahir sebesar botol kaca, bayi laki-lakinya lebih kecil lagi, dua hari tidak bersuara dan tidak minum ASI.
Nashrun, salah seorang tentara yang menjaga Mr, memberikan nama Nur Amanah dan Al Farisyi untuk bayinya. Namun ia punya nama lain, Rizka Munidar dan Rizki Munandar.
“Yang laki-laki enggak bersuara, dadanya terlihat dalam, hanya kulit berbalut tulang, tangannya sebesar jari kita, seperti tidak ada harapan hidup,” kenangnya dengan suara bergetar, air mata mulai menggenangi sudut matanya.
Sekarang anak pertamanya duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedangkan anak kembarnya duduk di kelas 1 SMP.
Tiga hari setelah melahirkan, Mr keluar dari rumoh Geudong, lalu ia mengobati anak sulungnya yang ikut terluka karena sering kena pukul di Rumoh Geudong.
Tiga bulan kemudian, suaminya pulang bersama anggota Kopassus dan Cuak dari Rumoh Geudong. Suaminya membawa pulang uang sebesar Rp 60.000. Ternyata suaminya pulang karena aparat meminta Mr membuat alat panah sekaligus mengecek apakah anggota GAM masih berkunjung ke tempat Mr.
Mr menulis surat yang isinya GAM sudah tidak ada lagi di kampungnya, ia tidak bisa datang ke Rumoh Geudong karena anaknya sakit dan ia tidak bisa membuat alat panah. Surat itu ia titip pada suaminya, karena suaminya kembali dibawa ke Rumoh Geudong.
Setelah bayinya berumur tujuh bulan, Hf kembali pulang bersama cuak dari Rumoh Geudong, kepulangan Hf disambut dengan gembira, ayah Mr membelikan durian dan membakar lemang, sejenis makanan khas berupa beras ketan yang dimasukkan dalam bambu yang telah dilapisi daun pisang dan dibakar.

***
Setelah damai, menurut pengakuannya ia belum pernah menerima bantuan apa pun, padahal ia sering membuat proposal bantuan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ia menjadi kuli upahan di sawah orang lain. Sedangkan suaminya menjadi tukang RBT (ojek), sekaligus menjual minyak eceran di rumahnya.
Perjanjian damai Aceh disepekati dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan damai Aceh dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. [Redaksi]
Menurut Mr, pemerintah seharusnya lebih adil dan jeli melihat korban, karena selama ini yang tidak merasakan siksaan semasa konflik diberikan bantuan, bahkan hingga beberapa kali, sedangkan orang seperti dirinya tidak mendapatkan apa-apa.
Keinginan terbesarnya adalah pelaku diadili dan dihukum. Karena Mr masih ingat semua pelaku di rumoh Geudong.
Menurut Mr, cuak yang membantu tentara berjumlah tiga orang; Mae dari Keumala, Saifuddin, dan Saed. Sedangkan tentara bernama Partono (komandan), Sasmito (wakil komandan), Pak Kumis, Heri, Makmur, Udin, Budi, Prapat dan satu lagi yang menamai diri sendiri Algojo dan sering menakut-nakuti tawanan kalau ia suka minum darah.
Dari nama tersebut, ada beberapa yang menurut Mr tidak menyiksa tawanan, yaitu Sasmito, Makmur dan Udin. “Kalau bisa, ingin saya minum darah mereka, saya tahu semua pelaku,” ujar Mr lantang.
Mr sangat berharap diberi modal usaha karena seringkali ia meminta bantuan tapi tidak pernah diberi. Saat koalisi NGO HAM meminta keterangannya, ia mengaku hanya punya Rp 20.000, dan bersedia datang memenuhi undangan karena mengharapkan bantuan.
Lagi pula ia sudah tidak dapat bekerja berat, karena siksaan di Rumoh Geudong membuatnya sakit-sakitan, mata rabun kepala sering berdenyut. Kalau kerja berat ia sering jatuh dan pingsan.
Mr sering membuat proposal untuk mendapatkan dana, tapi sampai sekarang belum ada yang cair. Ia juga sering ke kantor camat dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk menanyakan nasib proposal rumah yang diajukan, baginya anggota BRA adalah saudara dan teman. Namun kenyataannya berbeda, bantuan yang diharapkan tak kunjung datang
“Hari ini semua GAM telah mati, yang tertinggal hanya orang Indonesia, seandainya masih ada GAM, mereka pasti kenal saya. Satu Kecamatan Sakti dan Pidie kenal kami yang dibawa ke Rumoh Geudong, mungkin tujuan mereka sekarang memang memberi uang untuk orang kaya.”
“Bagaimana caranya, saya minta kepada kalian (koalisi) untuk membantu kami, supaya mendapat keadilan, yang kaya tidak usah dibantu lagi.” []