Semua korban yang dibawa ke Rumoh Geudong mendapat tuduhan serupa, yaitu membantu GAM atau dituduh terlibat GAM. Sama halnya dengan Ridwan Usman dan Rahman Kaoy.
Naskah ini dikutip utuh dari buku ‘FAKTA BICARA: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005’ yang diterbitkan pada April 2011 oleh Koalisi NGO HAM Aceh, dipimpin oleh Evi Narti Zain. Sementara Adi Warsidi dan Nashrun Marzuki menjadi editor buku itu: bertugas dari perencanaan sampai mengawal reportase yang dilakukan Kahar Muzakar dan Mellyan.
Kisah ini kami tampilkan bukan untuk mengungkit luka lama, saat konflik Aceh masih mendera, tapi untuk pembelajaran agar perang tak berulang.
***
Setelah 15 hari mendapat siksaan di Rancong, sebuah lubang disediakan untuk Ummi, ia dipaksa masuk ke dalam lubang tersebut. Ketika ia hendak ditembak, tiba-tiba tentara membawa Ummi kembali ke Rumoh Geudong.
Di Rumoh Geudong dan Rancong, ia diperlakukan tidak manusiawi, bekas luka ketika digantung, disilet dengan pisau, dipukul dengan balok dan diestrum masih dapat dilihat sampai sekarang.
Di Rumoh Geudong, ia tidak mandi sehingga rambutnya mengembang dan tinggi, tiga minggu sekali ia diturunkan dari Rumoh Geudong untuk membersihkan halaman atau hal lain yang diperintahkan. Ia pernah diturunkan sekalian dengan Pocut Sari, istri (Alm) Tgk Usman Lampoh Awe (mantan petinggi GAM).
Kisah Korban Rumoh Geudong: Ummi Ditangkap Seusai Laporan Cuak (3)
Di dalam kamar berukuran 3×3 meter ia disekap. Di situ Ummi tetap berusaha salat, wudunya dengan tayamum. Kalau ingin buang air besar ia teriak minta diturunkan dan dibawa ke kamar mandi. Terkadang tentara dan cuak terlambat menurunkannya, pernah suatu kali ia buang air kecil di atas kepala mereka.
Terkadang, saat ia diturunkan untuk membersihkan halaman atau hal lain yang diperintahkan, tawanan laki-laki sering berbisik pada Ummi untuk menaikkan sisa puntung rokok.
Berbagai penyiksaan dialaminya; diikat, ditelanjangi, dipukul, dan disetrum. Ia dituduh berkomplot, melindungi, dan menyembunyikan Daud Paneuk, Abdullah Syafi’i, Adam Malik, dan Wali Nanggroe.
Menurutnya, jumlah tawanan di Rumoh Geudong sangat banyak, karena ia pernah melihat satu truk berisi laki-laki dari Desa Cot Murong Ujong Rimba, dibawa ke Rumoh Geudong karena dituduh menyimpan senjata.
Namun untuk jumlah pastinya ia tidak dapat menyebutkan karena mereka dipisah dalam kamar yang berbeda dan sangat jarang melihat tawanan lain, hanya suara rintihan dan tangisan yang sering ia dengar. Di Rumoh Geudong menurut Ummi, banyak sekali korban yang ditanam di pekarangan rumah.
Ketika diperiksa, Ummi menjawab semua yang ditanyakan, bahkan menantang mereka untuk ke Swedia mencari Hasan Tiro atau ke hutan mencari Abdullah Syafi’i dan petinggi GAM lainnya. Tapi Ummi berpesan, mereka harus berani, dia yang akan memberikan alamatnya.
Semua korban yang dibawa ke Rumoh Geudong mendapat tuduhan serupa, yaitu membantu GAM atau dituduh terlibat GAM. Sama halnya dengan Ridwan Usman dan Rahman Kaoy.
Suatu ketika, Ridwan bekerja di kebun. Menjelang magrib, kepala desa yang bernama Tarwan AB datang ke kebunnya dan mengajaknya pulang. Di rumahnya, ia ganti baju lalu mereka bersama menuju rumah keuchik.
Di halaman rumah keuchik terparkir mobil Rocky putih, di dalam mobil ada Algojo yang bertanya pada Ridwan rumah Kaoy Yakob. Ridwan mengatakan ia tidak tahu karena Kaoy Yakob sudah tidak tinggal di Tiro tapi pindah ke Tu Geudeng.
“Jadi siapa yang tahu rumah Kaoy Yakob?”
“M Nur Kasem pak,” jawab Salihin. Salah seorang yang juga berada di rumah keuchik waktu itu.
Kemudian mereka naik mobil dan dibawa ke rumah M Nur Kasem. Karena M Nur Kasem tahu rumah Kaoy Yakob, ia juga ikut naik mobil menuju ke Tu Geudeng. Sesampainya ke rumah Kaoy Yakob, ia dibawa dengan mobil Rocky putih tersebut.
Ridwan dan Kaoy duduk berdekatan di dalam mobil, mereka saling bertanya kenapa mereka dibawa dan akan dibawa ke mana. Mendengar mereka bicara, cuak yang membawa mereka marah dan memisahkan tempat duduk mereka.
Usai Magrib, Ridwan dan Kaoy Yakob dibawa ke Rumoh Geudong, mereka duduk di seuramoe, bagian depan Rumoh Geudong. Sekitar dua jam mereka duduk, mereka dibawa ke belakang halaman belakang.
Di situ mereka lihat orang-orang yang baru disiksa, kulit punggung mereka terkelupas. Pukul 23.00 WIB mereka mulai disiksa, pada awalnya Ridwan dijadikan penonton, ia duduk di kursi bulat yang terdapat di Rumoh Geudong, Rahman Kaoy dikontak empat kali.
“Coba lihat tu, kawan kamu sebelum sampai giliran kamu,” ujar aparat saat itu.
Ridwan melihat Rahman Kaoy sudah tidak bergerak. Ia juga melihat seorang tawanan meninggal akibat disetrum, namanya Pahang. Setelah Rahman Kaoy, kemudian Ridwan dipukul dan disetrum. Ia dituduh menyembunyikan GAM dan memberi izin Gani Ahmad (anggota GAM) tidur di rumahnya.
“Saya nggak pernah menginapkan Gani Ahmad di rumah, jangankan menginapkan Gani Ahmad, untuk tempat tidur anak saya saja enggak ada, kalau enggak percaya boleh bapak cek ke rumah,” bantahnya.
Mereka tidak percaya ucapan Ridwan, tentara dan cuak terus memukuli Ridwan. Setelah seluruh tubuh berlumuran darah, sekitar pukul 01.00 WIB, Ridwan dan Kaoy Yakob di lempar ke luar Rumoh Geudong. Di luar sedang hujan, petir menyambar-nyambar, angin kencang.
Tentara memerintahkan mereka tengkurap kemudian terlentang, mereka masih dalam keadaan telanjang, kesempatan itu mereka gunakan untuk minum air hujan.
Kemudian tentara mengancam akan membunuh mereka berdua. “Sekarang titik terakhir, mau jawab silakan, nggak mau jawab silakan, berapa malam kamu nginapkan Gani Ahmad, berapa pucuk senjata si Gani Ahmad, berapa kawan Gani Ahmad,” tanya tentara.
Gani Ahmad adalah mantan AM yang sampai sekarang masih hidup. Ia pejuang tahun 1976, sekarang di Tiro hanya tinggal Gani Ahmad dan Tgk Ishak yang masih hidup.
Ridwan dan Rahman Kaoy tetap menjawab tidak tahu, jawaban tersebut membuat tentara marah dan menembakkan senjata ke arah Ridwan dan Kaoy. Peluru itu hanya berjarak satu sentimeter dari telinga mereka. Setelah itu telinga mereka berdengung seperti suara pesawat, kemudian tidak sadarkan diri.
Ketika sadar mereka sudah berada di dalam salah satu kamar di Rumoh Geudong. Di dalam kamar terdapat 11 tawanan. Di antaranya Razali Daod, Tgk Hamzah, Utoh Piah, Kaoy IDT, Keuchik Murong, Kamal Rambong.
Setiap hari mereka disiksa, nasi diberikan satu hari sekali, tanpa lauk. Mereka juga diperintahkan untuk pemanasan. Biasanya pukul 09.00 WIB pagi. Itu pun dalam keadaan telanjang bulat.
Ridwan masih mengingat beberapa kebiasaan di Rumoh Geudong, misalnya jika terdengar suara pintu ditendang, mereka harus berdiri menghadap dinding. Pagi dan sore seperti itu.
Ia ditawan di Rumoh Geudong selama dua minggu. Ia bebas karena seorang Kopassus dari Pintu Satu (pos tentara di jalur masuk ke Kecamatan Tiro) yang ia kenal datang ke Rumoh Geudong dan tidak sengaja melihat Ridwan. Ia memohon kepada Kopassus yang ia panggil Pak Pen untuk membawanya ke Pintu Satu, karena ia sudah tidak tahan disiksa.
“Bawa saya ke pintu satu apabila terbukti bersalah di Pintu Satu, pisahkan kepala saya dengan badan saya, itu saja janji saya pada Pak Pen.”
“Saya punya atasan, kalau permintaan Pak Ridwan dikabulkan dalam waktu dekat akan kami bawa Pintu Satu,” ujar orang yang dipanggil Pen.
Ternyata keesokan harinya sekitar pukul 12.00 Wib mereka menjemput Ridwan untuk dibawa ke Pintu Satu, sedangkan Rahman Kaoy tetap di Rumoh Geudong hingga dua bulan.
Sebelum dibawa, Kopassus bertanya pada Ridwan, apakah ia kenal dengan Tgk Amin. “Kenal, itu Bapak saya,”ujar Ridwan. “Kenapa berani bilang bapak kamu, padahal kan dia terlibat.”
“Masalah terlibat masalah lain, itu urusan lain, saya nggak tahu, saya di Tiro beliau di Panton Monot.”
Kemudian ia dibawa ke Pintu Satu, di dalam kamar tahanan ia berjumpa dengan Tgk Amin dan Usman. Mereka memang terlibat dalam pemberontakan. Kopassus bertanya kepada Tgk Min, apakah ia mengenal Ridwan Usman.
“Kenal ini anak saya,” ujar Tgk Amin.
Selama 17 hari berada di Pintu Satu, Ridwan tidak mengalami penyiksaan. Hanya menunggu luka-luka bekas penyiksaan di Rumoh Geudong sembuh.
Saat akan dilepaskan, Ridwan diancam untuk tidak memberi tahu kepada siapa pun mengenai siksaan yang dialaminya. Ia sembunyikan bahwa ia disiksa di Rumoh Geudong bahkan dari ibu, adik dan istrinya.
Satu minggu kemudian ketika ia mandi, sang istri tidak sengaja masuk ke kamar mandi dan melihat seluruh bekas luka di tubuh Ridwan. saat itu pula istrinya menjerit dan menangis. “Apa juga enggak dipukul,” tanya istrinya.
“Ka jeut, bek peugah-peugah bak gob (sudah, jangan katakan pada siapapun),” ujar Ridwan menenangkan sang istri.
Setelah damai banyak yang mendata para korban konflik termasuk warga asing. Tapi Ridwan kecewa, ia tidak mendapatkan apa-apa.
“Kadang ka bosan. Ditanyong-tanyong mantoeng, Oh wate woe meurukok pih tan (sudah bosan, hanya ditanya-tanya saja, uang rokok saja enggak diberi),” terangnya.
Ridwan mengaku pernah mendapat bantuan sebanyak Rp 10 juta, uang tersebut diambil tiga tahap, tahap selanjutnya diberikan jika sudah menyerahkan pertanggungjawaban dari pengambilan uang sebelumnya.
“Dikoh leubeh bak sijuta (itupun dipotong lebih dari satu juta).”
Tahun 2009, Ridwan sudah melapor ke BRA mengenai korban konflik yang belum mendapatkan rumah, tapi jawaban dari BRA, rumah yang dibakar pada masa konflik sudah tuntas dibayar.
Padahal menurut catatan Ridwan, masih sekitar 200 rumah yang belum diganti di daerahnya.
“Memang belum habis diganti semua rumah yang dibakar, saya siap tanggung jawab untuk daerah Tiro. Saya bukan berjuang untuk pribadi, jadi saya mohon agar membantu korban konflik agar tidak kembali terjadi kekacauan,” ujar Ridwan.
Ia sangat berharap pemerintah memperhatikan mereka, karena pada masa konflik bukan hanya kombatan yang dibunuh, bahkan masyarakat biasa juga menjadi korban. Lainnya, “Harus ada keadilan, menegakkan hukum, pelaku yang salah dihukum. Orang yang dirugikan dibayar, kalau enggak Aceh enggak akan aman,” ujar Ridwan.
[Bersambung]
Di Rumoh Geudong, Jokowi Resmi Luncurkan Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat