Jalan dakwah sang ulama itu penuh strategi. Suatu hari, dia menyamar sebagai penjudi untuk mendekati orang-orang yang jauh dari agama. “Yang peurle ta pakat salat ureung di lua masjid kon ureung dalam masjid,” katanya.
Maknanya, orang yang harus diajak mendirikan salat sejatinya mereka yang di luar masjid, bukan orang di masjid.
Sang ulama itu Teungku Bantaqiah. Kelahiran 20 Agustus 1948 di Gampong Ulee Jalan Keude Seumot, Beutong, Nagan Raya, Aceh.
Keluarganya dari keturunan terpandang. Sang ayah Teungku Hukom ulama yang menjabat kadi alias hakim hukum Islam pada masa Kerajaan Seunagan—saat ini di Kecamatan Seunagan, Nagan Raya.
Kakeknya juga seorang ulama sufi: Teungku Syaikhuna Muhammad Asyiek yang istiqamah mengajarkan dan mengamalkan ilmunya.
Warga Beutong masih mengingat bahwa Teungku Muhammad Asyiek semasa hidupnya kerap mengikuti ritual rapai. Bersama sejumlah orang berjubah putih, ia menghabiskan malam di tengah hutan Beutong.
Konon, sampai kini, warga setempat sesekali masih mendengar suara zikir diiringi rapai di hutan–tanpa diketahui sumbernya.

Syaikhuna di depan nama itu menjelaskan Teungku Asyiek bertarekat Rifai’iyyah–tarekat sufi bermula dari Irak sejak abad ke-6 Hijriah.
Teungku Bantaqiah dibesarkan di keluarga religius. Karenanya, kelak ia mendirikan Dayah Babul Mukarramah di Gampong Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya. Dayah ini berdiri di tepi sungai, persis di lembah pegunungan Singgah Mata.
Meski mengasuh pesantren, Teungku Bantaqiah kerap mengembara. Ia terus mendalami ilmu agama ke berbagai tempat di Aceh, seperti Aceh Tengah, Pidie, hingga Aceh Timur. Ia juga berkhalwat di kesunyian belantara Beutong Ateuh Banggalang.
Salah seorang guru ilmu agamanya adalah Teungku Keude dari Meunasah Dayah, Nagan Raya—mursyid tarekat Syattariyah.

Perjuangan dakwah Teungku Bantaqiah berakhir di pesantren yang ia dirikan itu. Jumat pagi, 23 Juli 1999, ia dan puluhan santrinya syahid ditembak TNI. Keluarga, santri, dan warga setempat tanpa pernah tahu kesalahan guru mereka itu.
Jenazah Teungku Bantaqiah dan puluhan santrinya dimakamkan di kompleks dayah. Tiap tahun, peristiwa yang disebut media massa sebagai “pembantaian Beutong Ateuh” itu selalu dikenang.[]
TEUNGKU MALIKUL MAHDI, putra almarhum Teungku Bantaqiah.