Na Amparan rasa ngagedur rasa ka cinta. Nu moal rek cacat nepi ka akhir dunya. Na sagara cinta mengkeut pageuh duarasa.
Lirik lagu ini tak begitu asing bagi pengguna TikTok di Aceh. Sebab, akhir-akhir ini musik berjudul Engkang ini kerap berseliweran di beranda media sosial itu, misalnya menjadi musik latar video.
Sampai Senin (26/2/2024) siang, musik Engkang yang diunggah di TikTok oleh akun Pisces 85 telah dipakai menjadi latar lebih dari 422 ribu video. Jumlah ini berkali-kali lipat dibanding unggahan original yang berjudul Gasentra Pajampangan baru dipakai jadi latar 9.687 video.
Lagu Engkang berbahasa Sunda dirilis Gasentra Pajampangan di Youtube pada 20 Agustus 2020. Dinyanyikan Nina Ayu Susanti, video musik ini telah ditonton lebih dari 10 juta kali.
Dalam keterangan unggahan, Gasentra menjelaskan bahwa Nina membawakan lagu ini dengan izin resmi dari penciptanya Yana Kermit, penyanyi terkenal Sunda. Gasentra sebuah sanggar dari Jampang Kulon, Sukabumi, Jawa Barat.
Namun di TikTok, banyak pengguna mempertanyakan asal lagu Engkang. Terutama penonton yang tak paham bahasa Aceh dan Sunda. Karena, pelafalan lirik lagu ini terdengar mirip antara dua bahasa daerah itu.
Sejumlah pengguna TikTok misalnya berkomentar bahwa baru tahu lagu ini berasal dari Sunda, bukan Aceh. Di video lain, ada komentar bahasa Aceh yang menanyakan judul asli lagu ini. Ia menjelaskan susah payah mencari dengan kata kunci “peugeut pageu dua rasa”, tapi tak kunjung ketemu.
Kata kunci itu dalam bahasa Aceh bermakna membuat pagar dua rasa. Kata itu sekilas terdengar mirip dengan lirik dalam bahasa Sunda “mengkeut pageuh duarasa” yang bermakna cinta melekat erat pada dua indra.
Terdengar mirip, tapi maknanya cukup jauh berbeda.
Meski begitu, ada juga lirik yang pelafalan dan maknanya sama. Yaitu “akhir dunya” yang berarti akhir dunia. Dalam Aceh, pelafalan akhir dunia diucap dengan “akhe donya”. Tak heran, banyak netizen akhirnya bertanya-tanya dari mana asalnya lagu ini: Aceh atau Sunda?
Karena itu, sejumlah video TikTok yang memakai latar musik Engkang, akan terlihat video milik warga Aceh, seperti pemandangan alam hingga pengantin baju adat Aceh.
Kekerabatan Bahasa Aceh dan Sunda
Menurut Dindin Samsudin, anggota staf Balai Bahasa Jawa Barat dalam artikelnya di situs Balai Bahasa Jawa Barat, beberapa kosakata bahasa Aceh memiliki bentuk yang sama dengan bahasa Sunda.
“Bahkan, terdapat juga kosakata bahasa Aceh yang memiliki makna sama dengan bahasa Sunda. Selain itu, beberapa kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda juga memiliki persamaan dalam bunyi fonem,” tulisnya.
“Dalam bahasa Aceh dan bahasa Sunda terdapat fonem /eu/ yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.”
Secara linguistik, menurut Dindin, persamaan beberapa kosakata bahasa Aceh dan Sunda tersebut dikenal dengan istilah bersinonim dan berhomonim.
Sinonim bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain. Sementara itu, homonim adalah kata yang sama lafal atau ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan.
Contoh kata yang bersinonim antara Aceh dan Sunda adalah bandera (bendera), basa (bahasa), cet (cat), guha (goa), jagong (jagung), hingga ma (ibu).
Sementara itu, kata berhomonim seperti cabak dalam bahasa Aceh berarti ‘lasak/agesif’, dalam bahasa Sunda berarti ‘raba’; lila dalam bahasa Aceh berarti ‘ungu’ (warna)’, dalam bahasa Sunda berarti ‘lama’; galak dalam bahasa Aceh berarti ‘suka’, dalam bahasa Sunda berarti ‘buas’.
“Walaupun beberapa kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda memiliki persamaan, tapi sistem pemakaiannya belum tentu sama karena setiap bahasa memiliki tata bahasa tersendiri,” tulisnya.[]