MULIANI menghadap tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau. Duduk bersila di tikar yang dibawanya sendiri, perempuan 42 tahun ini larut berdoa dan membaca ayat suci Al-Qur’an.
Bersama tiga anggota keluarganya, Muliani ziarah ke kuburan massal korban Tsunami Aceh di Ulee Lheue, Meuraxa, Kota Banda Aceh, Selasa (26/12/2023) pagi. Dia berasal dari Idi, Kabupaten Aceh Timur, berjarak sekitar 350 kilometer jauhnya.
“Tadi jam setengah sembilan sudah di sini,” kata Muliani kepada acehkini.
“Setiap tahun kami ke sini.”
Kakak, adik, dan dua keponakan Muliani yang tinggal di Ulee Lheue hilang karena tsunami. Mengunjungi kuburan massal merupakan salah satu kegiatan Muliani setiap 26 Desember.
Kuburan massal Ulee Lheue dimakamkan setidaknya 14.264 mayat. Muliani yakin ada anggota keluarganya yang dikebumikan di sana.
“Saya tidak dapat menemukan jenazahnya, jadi datang ke sini terasa seperti beliau ada di sini,” katanya.
“Lebih berdenyut jantungnya.”
Selain Muliani, sejak pagi kuburan massal Ulee Lheue banyak dikunjungi warga. Cuaca gerimis tak menyurutkan niat mereka, misalnya saja mereka datang membawa payung.
Tahun ini peringatan 19 tahun Tsunami Aceh dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh. Namun, di kuburan massal, masjid, dan meunasah warga menggelar doa bersama ke para korban.
Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004, pukul 07.58 WIB menyusul gempa berkekuatan 9,2 SR yang mengguncang Aceh. Tercatat 200 ribu orang menjadi korban, setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) mencatat sedikitnya 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak atau hancur, 693 fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, pos imunisasi dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 gedung sekolah rusak atau hancur. Saat itu, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan sekitar Rp60 triliun.
Kehilangan Istri
Kuburan massal bagi Salahuddin menjadi tempat mengenang istrinya yang hilang terseret arus tsunami. Bukan hanya di Ulee Lheue, laki-laki 60 tahun ini juga ziarah ke kuburan massal Siron, Aceh Besar.
“Kami 200 KK yang tinggal di Desa Ulee Pata, bisa dikatakan mungkin tidak ada satu rumah pun yang tertinggal, habis semua,” katanya.
“Yang selamat mungkin saya bisa hitung sekitar 5 orang.”
Ahad pagi saat musibah itu melanda, Salahuddin masih bersama istrinya dalam perjalanan dari Lamno, Aceh Jaya, menuju Banda Aceh. Gempa terjadi, mereka baru sampai di Lhoknga.
“Karena kami berada di dalam kendaraan, tidak terasa,” katanya.
Di Ulee Pata, Salahuddin mengantar istrinya ke rumah dan keluar lagi. “Saya baru sampai Lamteumen, air datang. Jadi waktu saya kembali lagi memang tidak dapat mayatnya,” katanya.
Bagi Salahuddin, tsunami adalah kiamat kecil yang wajib dikenang setiap tahun. Musibah ini menjadi peringatan baginya sebagai cobaan untuk tetap bersabar.
“Karena di dalam musibah itulah juga diberikan hidayah kepada kita. Karena musibah kita diberikan hidayah,” kata Salahuddin.[]