Sebuah cerita pendek (cerpen) kisah cinta sepasang belia yang penuh tantangan di masa konflik Aceh. Ditentang banyak orang karena latar belakang keduanya yang berbeda; keturunan hingga perang yang mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Penulis: Agam Cabak
Kepulangan Tresnawati kali ini membawa kehebohan. Beberapa tahun selepas SMA dia merantau ke Malaysia. Sempat pulang saat neneknya meninggal, lalu pergi lagi tanpa pamit.
Ibunya meninggal saat dia kecil. Kini dia pulang dan menumpang di rumah Mabitnya. Usai menikah nanti dia tetap tidak mau menetap di gampong. Tekadnya sudah bulat untuk menjadi perantau. Gampong nyaris tak memberi harapan hidup buatnya.
Tresna memang menyimpan “cupa” masa lalu. Sebuah cacat di mata orang banyak. Dia lahir hasil hubungan ibunya dengan seorang aparat negara. Sang ayah pergi saat dia masih di kandungan. Selesai tugasnya dan kembali ke kesatuan induk. Nama Tresna diberikan ibunya yang melahirkan tanpa didampingi sang suami. Tanpa status perkawinan dan beban yang besar pasca-pencabutan DOM.
“Kamu bukan anak haram karena kami menikahkan ibumu dengan ayahmu walau nikah gampong (siri),” jelas neneknya suatu ketika.
Setelah dewasa ia pernah mencoba mencari ayahnya. Namun ia tak punya informasi lengkap. Perjalanan mencari sang ayah sampai ke Sulawesi kandas. Himpitan kemiskinan dan beban mental “aneuk si Pai” menghempas semua asanya. Hingga akhirnya Tresna memilih merantau ke Malaysia demi mengubah nasib dan mengubur masa lalu.
Kini ia kembali ke gampong. Ia ingin menikah dengan sang pilihan hati. Pria yang berhasil merebut hatinya adalah lelaki dari gampong tetangga. Namun, rasa senasib mempertemukan mereka di rantau orang.
“Saya ingin kita menikah di gampong, ini sudah janji saya kepada keluarga,” pinta Mudin, sang calon linto baro.
Tresna agak keberatan karena masa lalunya yang “cupa”. Trauma cemoohan aneuk Si Pai masih bergelayut di benaknya. Tapi cinta dan perasaan senasib membuat Tresna memilih mengalah dan menetapkan pilihan hatinya.
“Semoga sampai di sana Abang tidak kehilangan semangat karena perkataan orang tentang saya,” curhat Tresna.
“Aku mencintaimu dengan yang ada dan melekat padamu, bukan tentang siapa kamu, bukan pula karena engkau anak siapa, sebab aku pun bukan siapa-siapa” rayu Mudin di sebuah sore.
Kalau soal resiko mereka memang telah saling merasakan sebagai pendatang ilegal di negeri seberang.
“Selama ini kamu adalah semangat terbesarku bertahan dalam segala himpitan kesulitan,” desah pria tak tamat SMP ini.
Ayah Mudin adalah “aneuk pateng” atau penjaga radio kaum pejuang. Posisi yang membuat sang ayah berseberangan dengan tentara pemerintah. Di penghujung konflik, ayahnya tewas dalam sebuah penyergapan di gampongnya.
Sang gadis dihantui berbagai “haba miring” dan cemoohan karena ia tak berayah yang jelas. Banyak hal menghantuinya. Terkadang minder dan putus asa datang merayap.
“Salah saya apa lahir dari orang tua begitu? Saya tak minta dilahirkan begini, lalu kenapa orang lain memandangku sebagai pendosa,” gumam Tresna suatu ketika kepada neneknya.
Sang nenek selalu berusaha menguatkan. “Semua manusia punya cupa, dan bukan karena siapa orang tuamu yang menjadi jaminan kamu berhasil di dunia, atau menjadi penghuni surga nanti,” nasihat neneknya.
“Sudah cukup ibumu yang menderita dan mati bak pike khuen gop,” tegas neneknya.
Yang dikhawatirkan Tresna benar-benar terjadi. Ketika rencana pernikahan mereka tersebar dari mulut ke mulut, Mudin langsung dibombardir keluarganya. Padahal dia masih belum sehat benar. Pulang “rot likoet” dengan boat ikan menguras kesehatannya. Ia jatuh demam. Malarianya kambuh.
“Lagee hana leumah inong laen (seperti tidak ada perempuan lain),” kata kakaknya.
“Teuma menye nyan pakon? Pat yang salah? (Kalau iya kenapa? di mana salah?),” bantahnya.
Jadinya sampai di gampong bukan fokus persiapan menikah. Keduanya malah sibuk “bak peuteupat haba”.
“Soe bie peunikah keuh? Darabaro hana wali, soe bi wakilah (Siapa yang menikahkan? Pengantin perempuan tak ada wali, ke siapa diwakilkan wali,” tanya ibu Mudin.
Sebenarnya mereka gelisah atas pilihan sang anak. Sudahlah calon darabaro miskin, tak jelas pula keturunannya.
“Selama hana meulanggeh ngon agama, cara ta mita. Lon tetap ngon Tresna (selama tidak melanggar perintah agama, cara dicari. Saya tetap dengan Tresna),” tegas Mudin.
Dan kegelisahan itu disembunyikan. Ia tidak mau Tresna kecil hati. Namun bagaimana pun Mudin menyembunyikan, Tresna membaca gelagat gelisah di wajah Mudin.
“Abang gak perlu menyembunyikan kegelisahan. Dari awal saya sudah duga, pernikahan kita tidak akan disenangi keluargamu,” cecar Tresna saat Mudin datang.
“Jika begitu apakah kamu akan mengubah kesepakatan? Buat saya ini resiko yang sudah saya pikirkan jauh hari, sebab tidak ada kesuksesan dan kebahagian tanpa risiko yang harus diperjuangkan,” ceramah Mudin layaknya motivator.
“Kita hari ini dan ke depan bukan tentang bagaimana pendapat orang lain, bukan pula tugas kita menyenangkan semua orang,” imbuh Mudin.
“Menye han trok ngon reunong buloh, ku dong ji oh peupo geulawa (kalau tiang tidak sampai, saya akan berdiri jauh dan melempar),” Mudin berpantun, meyakinkan Tresna.
“Cara ta mita, jak ta mumat jaroe malem (cara kita cari, ayo kita pergi menikah) ,” tegas Mudin.
Tresna menyambut uluran tangan Mudin. Air bening mengalir di sudut matanya. []