Video dua ulama tayang di akun Instagram acehkini dalam pekan ini. Pertama rekaman mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin, dan kedua Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Teungku Faisal Ali.
Topik keduanya sama: penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
Prof Din mengatakan sebuah kewajiban keagamaan bagi muslim untuk membantu pengungsi Rohingya yang muslim. Dia minta warga Aceh menjadi kaum Anshar yang menyambut dan menerima kaum Muhajirun waktu hijrah di Madinah dulu.
“Aceh Darussalam atau Negeri Damai, ditakdirkan Allah SWT menjadi tujuan mereka. Ini adalah ujian sekaligus kesempatan beramal bagi Rakyat Aceh,” katanya, Jumat lalu.

Sehari berselang, Teungku Faisal Ali datang ke Balai Meuseuraya Aceh di Kota Banda Aceh untuk mengantar bantuan. Dia disambut anak-anak pengungsi, dan seorang anak 11 tahun unjuk kebolehan menghafal Al-Qur’an.
Selepas itu, Teungku Faisal mengirim pesan terbuka melalui awak media kepada Presiden Jokowi.
“Saya salah satu pendukung Bapak (Jokowi) selama dua periode. Kesempatan ini saya gunakan untuk berharap kepada Bapak Presiden Joko Widodo, untuk menyelesaikan kasus Rohingya ini oleh pemerintah pusat secepatnya,” katanya.
Setelah video dan berita ulama ini diunggah di akun Instagram acehkini, lebih dari seratus komentar muncul. Ada yang berkata kasar, mendukung, hingga ada yang mengingatkan untuk menjaga komentar karena yang tampil itu ulama.
Sejumlah komentar berkata kasar justru menggunakan bahasa Aceh—meski ada juga bahasa Indonesia. Padahal, ulama bagi masyarakat Aceh, sosok paling dihormati.
Adatnya, seseorang lahir hingga meninggal di Tanah Rencong, tak bisa terlepas dari peran Teungku—julukan ke para alim agama Islam.
Orkestrasi Buzzer
Media sosial belakangan ini memang ramai dengan penolakan pengungsi Rohingya. Akun Instagram acehkini sempat hilang sekitar 30 menit setelah mengunggah konten berita, foto, dan video kondisi pengungsi Rohingya di Aceh.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menduga ada buzzer yang dibayar untuk menyebarkan kebencian kepada pengungsi Rohingya.
“Saya kira ada semacam orkestrasi melalui buzzer yang sebagian memang dibayar untuk menyebarkan, sebagian lain mungkin tidak memiliki pemahaman akibat dari misinformasi dan disinformasi sehingga meluapkan kebencian-kebencian tidak berdasar,” katanya.

Karena itu, masyarakat saat ini dihadapi disinformasi, misinformasi, dan berita-berita bohong dengan diselimuti narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya.
“Ini sangat masif dan terstruktur, karena itu pemerintah tidak boleh diam saja, tapi harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan ujaran-ujaran negatif itu tidak berlanjut dan bila perlu diambil tindakan-tindakan hukum,” kata Usman Hamid.
Akun Asli atau Bot?
Badan Pengungsi PBB alias UNHCR memberi keterangan pers seusai pengusiran Rohingya oleh demonstran di Aceh. Juru Bicara UNHCR Asia Pasifik Babar Baloch memperingatkan masyarakat umum mewaspadai kampanye “terkoordinasi” dengan baik di platform media sosial.

Kampanye itu menurutnya menyerang pihak berwenang, komunitas lokal, pengungsi, dan pekerja kemanusiaan dengan menghasut kebencian dan membahayakan nyawa.
“UNHCR mengimbau masyarakat di Indonesia untuk memeriksa ulang informasi yang diposting online, yang sebagian besar palsu atau diputarbalikkan, dengan gambar yang dihasilkan AI dan ujaran kebencian yang dikirim dari akun bot,” katanya.[]