Tragedi Idi Cut atau tragedi Arakundo hanya sekelumit cerita duka, dari sekian banyak dugaan pelanggaran HAM masa lalu Aceh yang belum tuntas. Kisah 25 tahun lalu, kami tampilkan kembali bukan untuk mengungkit luka lama, tapi untuk pembelajaran agar perang tak berulang.
Bagaimana tragedi itu sebenarnya terjadi?
Koalisi NGO HAM Aceh mendokumentasi kesaksian warga dalam Tragedi Arakundo, juga beberapa kasus pelanggaran HAM di Aceh lain dalam buku ‘FAKTA BICARA: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005’ terbit April 2011. Saya (Adi Warsidi) dan Nashrun Marzuki menjadi editor buku tersebut, bertugas dari perencanaan sampai mengawal reportase yang dilakukan oleh Kahar Muzakar dan Mellyan.
Tragedi Idi Cut saat Konflik Aceh: Pembantaian Usai Dakwah Agama (1)
Begini kisah lanjutannya:
Kesaksian 2
Saat mayat korban dibuang ke Krueng Arakundo, Badriah, warga Kecamatan Julok, menjadi salah satu saksi. Dia tinggal tak jauh dari jembatan bersejarah itu, hanya 300 meter. Menjelang subuh, 3 Februari 1999, Badriah sedang berada di dalam rumahnya mendengar aparat mengatakan “lanjut-lanjut” dan kemudian terdengar suara gesekan batu.
Badriah penasaran, kemudian mengintip dari balik gorden rumah. Saat itu listrik padam. Di depan rumahnya terparkir tiga truk. Dua truk dipenuhi tentara sedangkan satu truk lagi terlihat kosong. Kemudian salah satu truk menuju jembatan Arakundo, sedangkan dua truk masih berada di depan rumahnya dan terlihat sibuk membersihkan sesuatu.
Di depan rumah Badriah, terdapat jerigen air berukuran 20 liter yang digunakan aparat untuk menyiram jalan. Kemudian mereka meninggalkan jembatan Arakundo menuju ke arah Idi Cut. Tidak lama setelah itu, tercium bau amis bersumber dari depan rumahnya.
Saksi lainnya bernama Roslina. Dia mengatakan ceceran darah yang terdapat di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutupi dengan pasir. Penduduk sekitar sungai sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang pasir, hasilnya biasa mereka tumpuk di pinggir sungai sekitar jembatan tersebut.
Sampai siang berkisar pukul 08.00-12.00 WIB, aparat masih tetap bertahan juga di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut. Bahkan masih terjadi muntahan peluru tanpa tentu arah. Kondisi ini disaksikan oleh Sulaiman Ali yang kemudian dibawa ke Kantor Koramil bersama dengan delapan orang lainnya dengan truk aparat.
Pukul 07.00 WIB, masyarakat melihat tetesan darah yang sudah kering sepanjang jalan menuju jembatan Arakundo. Menjelang siang, warga melakukan pencaharian mayat di sungai Arakundo. Mereka menemukan salah satunya, bernama Irwansyah Bin Usman (22 tahun), warga Gampong Kapai Baro Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Jenazahnya ditemukan dalam goni yang bertuliskan sebuah pembunuhnya. Goni tersebut masih disimpan oleh istrinya.
Keesokan harinya pencarian dilanjutkan sampai seminggu kemudian. Masyarakat menemukan mayat Hasbi Saleh, 35 tahun, warga Desa Leubok Tuha, Kecamatan Julok; Irwan Bin Matsyah 24 tahun dari desa Jambo Bale, kecamatan Julok; Jailani Muhammad 22 tahun dari desa Jambo Bale Kecamatan Julok; Karimuddin Ibrahin 20 tahun, dari desa Matang Neuhen Bagok, Kecamatan Julok; Saiful Bahri bin Yusuf, penduduk Boh Tren Desa Bandar Baru Kecamatan Julok.
Pecarian korban dilakukan dengan alat tradisional, baru dua hari setelah kejadian, tim penyelam penyelam dari PT Arun ikut membantu. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu. Hal tersebut menyulitkan pencarian.
Menurut saksi, jumlah korban luka-luka sangat banyak. Karena tentara memuntahkan peluru ke arah masa secara membabi buta. Tapi sebagian besar masyarakat yang terluka tidak melapor. Ditambah warga yang malam itu juga diangkut truk ke kantor Kepolisian Resort Kota Langsa, untuk diperiksa terkait penyelenggaraan ceramah agama, yang dinilai bermuatan makar. Mengajak warga mendukung Aceh Merdeka.
Selain korban luka dan meninggal, sebagian masyarakat juga menderita kerugian harta benda. Saat penembakan, beberapa orang kehilangan sepeda motor. Kaca mobil dirusak.
Ismail misalnya, mobilnya dirusak, dan menderita kerugian Rp 7 juta. Fadly Syah, 35 tahun, motornya dirusak dan kerugian sekitar Rp 1,5 juta. Selain itu, masih banyak warga lainnya yang mengalami kerugian materi.
Setelah kejadian, masyarakat masih ketakutan.Teror yang dilakukan oleh aparat militer terus berlangsung. Aparat berkeliaran berkeliling kota dengan truk militer yang bertulisan “Sambar Nyawa” pada kaca mobilnya. Tentara juga menggunakan alat komunikasi (telepon) masyarakat dengan paksa.
Tindakan kekerasan di Idi Cut diduga sebagai pembalasan dendam terhadap peristiwa sebelumnya, berupa swepping dan penculikan tentara yang dilakukan sejumlah warga sipil di Lhok Nibong, Aceh Timur, pada 29 Desember 1998 sampai 3 Januari 1999. Peristiwa ini berujung pada pembunuhan beberapa personel tentara, yang mayatnya juga dibuang ke sungai.
Hal itu terbukti dari makian-makian yang dilontarkan para tentara, saat sedang melakukan aksinya. “Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. rasakan balasannya.” [bersambung]
Note: tulisan ini pernah tayang di kumparan.com/acehkini