25 tahun silam sebuah tragedi berdarah terjadi di Idi Cut, kala konflik Aceh masih mendera. Kisah ini kami tayang kembali bukan untuk mengungkit luka lama, tapi untuk pembelajaran agar perang tak berulang. Tragedi Idi Cut hanya satu dari banyak peristiwa dugaan pelanggaran HAM masa lalu Aceh yang belum tuntas.
“Saya ikut serta mengabadikan proses pencarian mayat oleh ribuan warga di Krueng Arakundo, merekam tangis dan kesedihan warga tentang keluarganya yang meninggal,” kata Ali Raban kepada saya suatu ketika, mengingat Tragedi Idi Cut pada 3 Februari 1999 silam. Peristiwa itu juga dikenal dengan Tragedi Arakundo.
Ali Raban (52 tahun) jurnalis senior di Aceh mengaku kenangan itu tak gampang lekang. Saat itu, Ali masih 27 tahun terjun langsung selama sepekan meliput di sana bersama beberapa pewarta yang berdomisili di Lhokseumawe, dan Banda Aceh.
“Peristiwa itu masih menghantui saya hingga kini, melihat mayat-mayat yang ditemukan di sungai dalam dan berarus deras itu. Saya masih ingat komandan aparat yang bertugas di sana saat kejadian,” sambung Ali, sambil menyebut sebuah nama.
Bagaimana tragedi itu terjadi?
Koalisi NGO HAM Aceh mendokumentasi kesaksian warga dalam Tragedi Arakundo, juga beberapa kasus pelanggaran HAM di Aceh lain dalam buku ‘FAKTA BICARA: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005’ diterbitkan April 2011. Saya (Adi Warsidi) dan Nashrun Marzuki menjadi editor buku tersebut, bertugas dari perencanaan sampai mengawal reportase yang dilakukan oleh Kahar Muzakar dan Mellyan. Begini kisahnya:

Kesaksian pertama
Tragedi terjadi di Simpang Kuala, Kecamatan Idi Cut, kaupaten Aceh Timur, Rabu dinihari, 3 Februari 1999, persis di depan Markas Komandan Rayon Militer (Koramil) dan Kantor Polisi Sektor (Polsek) setempat.
Selasa, 2 Februari 1999, warga Desa Matang Ulim, Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur bergotong royong untuk menyiapkan pentas kegiatan, sebuah dakwah agama akan digelar di lapangan Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB datang beberapa tentara dengan membawa senjata laras panjang, mereka diperkirakan oleh para penduduk sebagai anggota di Koramil setempat.
Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang pada saat itu berdiri di sekitar tempat pembuatan pentas. Nama-nama korban pemukulan adalah; Rusli, Zakaria, Bahrum, Muhammad balia, Jasmin, Martunis, Syukri, Usman, Saiful, Mukhlis dan M. Nasir. Mereka semuanya berumur antara 16 sampai 27 tahun.
Tidak lama setelah itu, masyarakat kembali bergotong royong melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda. Sebelum acara dimulai pada pukul 20.30. WIB, massa sudah berkumpul sejak sore harinya serta membanjiri lapangan Simpang Kuala, Idi Cut, sampai ke sisi jalan Medan – Banda Aceh. Massa yang hadir pada saat dakwah tersebut diperkirakan sekitar 5.000 orang dari berbagai daerah.
Setelah acara selesai pukul 00.30 WIB dinihari, massa kemudian bubar dan sempat tertahan lama di simpang jalan Kuala Idi Cut karena banyaknya kendaraan yang akan keluar dan jalan tersebut.
Sekitar pukul 00.45 WIB, masyarakat yang mendengar ceramah pulang ke rumah masing-masing, sebagian berjalan kaki, menggunakan sepeda motor dan sebagian lagi menggunakan mobil bak terbuka. Mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Suasana gelap, tidak ada satu lampu pun yang menyala. Pada saat itu massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh aparat negara.
Pukul 01.00 WIB dini hari, terdengar suara tembakan dari arah Barat kantor Koramil, sudah ada beberapa truk aparat di sana. Menurut korban, ada tiga atau empat truk. Setelah suara letusan pertama, dilanjutkan dengan penembakan ke arah massa yang ramai.
Seorang saksi mata, Husaini, mengisahkan secara kebetulan pada saat penembakan brutal itu terjadi baru kembali dari Kota Langsa dengan sedan merah miliknya. Dia dihentikan beberapa meter setelah lewat di depan kantor Koramil. Malam itu, dia bersama istrinya Cut. Mobilnya terpaksa berhenti karena diadang oleh truk dari arah berlawanan.
Ada tiga truk militer mengadang dari arah berlawanan. Di depan mobilnya juga ada truk umum bermuatan tong-tong fiber glass, biasa digunakan untuk mengangkut ikan atau udang. Ban mobil tersebut kempes, karena ditembaki. Di depan truk, satu mobil pick-up Chevrolet dipenuhi warga yang baru pulang dari ceramah agama. Menurut Husaini, pick-up itulah mobil yang pertama sekali diadang. Karena ia tidak melihat ada mobil lain di depan Chevrolet tersebut.
Dari mobil Chevrolet itulah, ia melihat orang-orang berhamburan meloncat ke jalan. Keadaan cukup panik saat itu. Husaini mendengar suara tembakan, kemudian jelas ia mendengar suara- suara teriakan kesakitan.
Dia dan istrinya keluar dari mobil dan tiarap. Karena panik, ia tidak sempat menutup pintu dan lampu mobilnya masih menyala. Tentara marah karena adanya penerangan dari mobil Husaini. Tentara hendak menghancurkan kaca mobilnya.
Tiba-tiba Husaini berdiri dan mengatakan pada tentara itu bahwa ia keluarga tentara, dan tinggal di asrama tentara. Anaknya juga seorang tentara. “Enak saja kamu. Anak saya saja yang melatih kamu tidak sekejam itu,” bentak Husaini.

Mendengar suaranya yang membentak keras, tentara lain menghampiri dan bertanya siapa Husaini dan anaknya. Kemudian Husaini mengatakan nama anaknya, pangkat dan tempat tugasnya. Mendengar itu, mereka menjadi lunak dan menyuruh Husaini dan istri untuk tiarap. Ia juga sempat menanyakan mereka berasal dari kesatuan mana. Tentara tersebut menjawab “cepek”. Karena itu Husaini tahu, mereka berasal dari Linud 100.
Pada saat itu orang-orang ditembaki. Setelah rubuh, dicampakkan ke dalam truk tentara. Husaini juga mendengar perkataan dan aparat yang melakukan penembakan. “Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai.”
Sebanyak 58 korban yang telah tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat. Baik yang sudah tewas maupun yang sekadar luka-luka. Tapi ada beberapa korban yang terluka tidak terangkut, karena bersembunyi di selokan-selokan samping jalan.
Pukul 03.00 WIB truk aparat yang di dalamnya terdapat korban-korban penembakan, bergerak menuju jembatan Arakundo. Di markas Koramil tampak beberapa truk lain yang masih kosong.
Sebelum dicampak ke dalam truk dan kemudian diangkut untuk dibuang ke sungai, para korban diikat telebih dahulu dengan kawat di seluruh tubuhnya. Dimasukkan ke dalam goni milik masing-masing aparat yang bertuliskan nama pelakunya.
Goni-goni yang telah berisi korban itu kemudian diberi batu pemberat, dan terakhir dilemparkan ke Krueng Arakundo. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan temuan mayat-mayat korban dalam pencarian 7 hari setelah insiden berdarah itu. [bersambung]
Note: tulisan ini pernah tayang di kumparan.com/acehkini