Di tengah hiruk-pikuk kampanye Pilkada, lihatlah kepiluan dua anak di Kota Lhokseumawe ini. Usianya baru 7 dan 5 tahun. Nama mereka, di usia semuda itu, sudah masuk dalam berkas kasus pemerkosaan. Sebagai korban. Siapa pelakunya? Seorang laki-laki kelahiran 1951. Berusia 73 tahun.
Ketika para kandidat sibuk merayu pemilih dan baliho-baliho tersebar di mana-mana, pada Senin, 18 November 2024, Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe menjatuhkan vonis untuk kasus menyilukan itu. Laki-laki tersebut dijatuhi hukuman 150 bulan penjara karena terbukti memperkosa anak.
Di balik gaduh politik elektoral, realitas kelam kekerasan terhadap anak terus mengintai. Di tanah Aceh yang menerapkan syariat Islam, ironi seperti ini bukanlah hal baru. Kasus serupa hampir terjadi setiap bulan. LBH Banda Aceh, misalnya, menyebut pada 2021 bahwa setiap 18 jam 45 menit ada anak Aceh menjadi korban kekerasan seksual.
Tidak sedikit dari kasus-kasus itu melibatkan orang-orang yang seharusnya menjadi panutan: pemimpin lembaga pendidikan keagamaan hingga ayah kandung. Anak-anak yang seharusnya dibimbing dan dilindungi malah menjadi korban, bahkan di rumah mereka sendiri. Bahkan di tempat-tempat yang suci, seperti masjid.
Kasus ini bukan hanya tentang individu, tapi cerminan dari sistem yang gagal melindungi rakyatnya, terutama anak-anak.
Di malam-malam yang hening, saat tidur tak kunjung tiba, saya kadang bertanya-tanya: bagaimana mungkin kasus-kasus seperti ini terjadi di negeri yang menjunjung syariat Islam? Dan, bukankah syariat itu sendiri yang sering kita dengar di kampanye-kampanye para kandidat tiap momentum Pilkada?
______
Pilkada adalah kenduri. Rakyat disuguhi harapan, janji, hingga mimpi-mimpi. Sebuah masa depan yang lebih baik ditawarkan. Namun, setelah riuh rendah kampanye mereda, apa yang tersisa?
Aceh, tanoh teuleubeh yang penuh sejarah, kekhususan, dan keistimewaan, selalu menunggu satu hal: pemimpin yang benar-benar peduli pada bangsanya. Namun, di balik panggung meriah demokrasi, mimpi-mimpi tersebut nyaris tak bermakna bagi mereka yang terjebak dalam lilitan kemiskinan.
Pengangguran menjadi momok bagi kami, anak muda. Dan korupsi seperti menyapu harapan yang seharusnya tumbuh dari tanah ini—yang dulu diperjuangkan berdarah-darah.
Sebagai anak muda dari kampung di kaki gunung, saya kadang-kadang bertanya-tanya: kita hidup di wilayah dengan kekhususan yang luar biasa, tapi mengapa banyak warganya masih hidup jauh dari sejahtera? Apakah kekhususan dan keistimewaan itu bukan untuk kami, yang miskin?
Terlalu sering kita mendengar janji-janji indah: menghapus kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, atau membawa Aceh ke panggung kemajuan. Namun, berapa banyak dari janji itu yang benar-benar menjadi kenyataan?
Data kemiskinan di Aceh terus menjadi bayangan kelam. Dana Otonomi Khusus, yang seharusnya menjadi berkah, sering kali hanya menjadi rebutan para elite. Sementara rakyat tetap berjuang sendiri dalam jalan hidupnya.
Dan korupsi? Ia bukan hanya cerita di lembaran perkara aparat penegak hukum. Korupsi adalah cerita sedih anak bangsa yang kehilangan harapan karena bantuan yang tidak sampai. Harapan untuk bisa berobat di fasilitas kesehatan yang layak karena rumah sakitnya duluan ambruk. Harapan untuk tinggal di rumah yang layak. Dan harapan-harapan lainnya.
Jika menelusuri gampong-gampong di Aceh, lihatlah wajah-wajah lelah tetapi penuh harap. Terlalu klise jika saya menulis kalimatnya begini: mereka tidak meminta banyak, hanya menginginkan pemimpin yang memahami penderitaan mereka.
Saya pun ragu, apakah mereka masih menaruh harapan pada pemimpinnya setelah melalui hari-hari yang berat? Masih sempatkah mereka menggantungkan harapan itu setelah berulang kali dikecewakan?
Aceh bukan sekadar tanah, bukan sekadar Serambi Mekkah, bukan sekadar bangsa teuleubeh. Aceh adalah rumah, adalah masa depan—termasuk bagi kami, anak muda, yang hidup dan besar setelah perang reda.
Namun, apakah kami tetap harus ke Malaysia untuk mencari kerja? Atau ke kota-kota lain di dalam negeri?
Saya terbayang anak muda, seumuran saya, yang karena kemiskinan dan pengangguran, memilih jalan pintas untuk menjalani hidup. Ada yang mencuri barang-barang kecil di gampong—seekor ayam, buah-buahan di kebun, atau barang dagangan di warung—yang jika dijual, harganya kadang tak sampai seratus ribu rupiah.
Ada juga yang lebih nekat menjadi kurir narkoba, seperti yang sering kita baca di berita. Kisah-kisah ini menyayat hati. Bukan karena kerugian materi, tapi karena mencerminkan betapa mereka telah kehilangan harapan.
Di tengah semua masalah ini, kita juga melihat fenomena lain: tokoh-tokoh spiritual yang lebih sibuk dengan panggung politik. Ketika mereka menjadi juru kampanye hingga terpecah-pecah dalam nuansa Pilkada, ke mana kita harus meminta petuah?
Di antara pilihan yang tak banyak, di ruang sempit bilik suara, ke mana saya harus memberikan hak dan menaruh harap?
Setelah Pilkada, hidup memang akan terus berjalan. Saya berulang-ulang memutar lagu Bernadya:
Untungnya, bumi masih berputar…
Untungnya, kupakai akal sehat…
Untungnya, hidup terus berjalan.[]