Yayasan Bantuan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) atau LBH Banda Aceh memberikan komentar terkait pemusnahan jejak Rumoh Geudong di Pidie, Aceh. Tanggapan tersebut disampaikan Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, S.H., M.H pada Kamis (22/6/2023).
Berikut isi lengkapnya:
Presiden Jokowi akan melakukan pembukaan Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat secara non-yudisial. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, yang merupakan salah satu tempat penyiksaan selama konflik bersenjata di Aceh berlangsung.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat, merupakan tindak lanjut dari hasil kerja TPPHAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu.
Dari awal, pembentukan TPPHAM oleh Presiden Jokowi terlihat jelas, bahwa ini kebijakan yang melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat masa lalu, termasuk di Aceh. Dugaan ini didukung dengan tidak adanya pengungkapan kebenaran terkait pelaku-pelaku dari peristiwa-peristiwa yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh TPPHAM, sehingga tidak melahirkan rekomendasi apa pun berkaitan dengannya. Peristiwanya jelas, korbannya jelas, pelaku tidak terungkap sama sekali.
Foto: Jejak Rumoh Geudong, Beberapa Hari Sebelum ‘Dihancurkan’
Hal ini ditambah lagi dengan sedang berlangsungnya penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong sebagai tempat terjadinya pelanggaran HAM berat oleh pemerintah daerah. Pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya bisa menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial, dalam hal ini pengadilan HAM.
Upaya penghancuran sisa fisik bangunan yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di lokasi tersebut dan ini, salah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM Berat.
Terhadap hal tersebut YLBHI-LBH Banda Aceh menyatakan sikap bahwa Presiden Jokowi telah melakukan:
- Upaya mengaburkan Eksistensi Komnas HAM
Dengan menggunakan data Komnas HAM, terlihat bahwa negara mengaburkan perintah UU HAM dan UU Pengadilan HAM terhadap kerja-kerja Komnas HAM. Dua UU tersebut jelas menentukan, bahwa langkah penyelidikan oleh Komnas HAM, dilakukan untuk kebutuhan pro-justicia yang mana langsung bersisian dengan kepentingan pemenuhan hak korban, yaitu; hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum (pengadilan), pemulihan korban, dan jaminan ketidak-berulangan.
Menggunakan hasil kerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus secara non-yudisial justru mendelegitimasi Komnas HAM secara kelembagaan, fungsi, sekaligus cita-cita negara untuk menjamin pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan atas hak asasi manusia seluruh warga negara. Ini merupakan jalan keluar bagi Presiden untuk lari dari tanggung jawab dengan menjadikan “pemulihan korban” sebagai alasan belaka.
- Memberi impunitas terhadap pelaku
Pembentukan tim TPPHAM menunjukkan, ketiadaan upaya negara untuk mencapai aspek kepastian hukum dalam tugas dan fungsi Tim PPHAM. Sehingga berakibat pada keberlanjutan impunitas bagi orang atau kelompok yang diduga keras telah melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat telah jelas mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan HAM. Jika alasan pembentukan Tim PPHAM ini untuk mempercepat pemulihan bagi korban, seharusnya pemerintah justru mengedepankan adanya peradilan HAM untuk memeriksa kasus-kasus yang telah terjadi. Hal ini sejalan dengan upaya Komnas HAM yang telah melakukan penyelidikan untuk kasus-kasus tersebut.
Dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM tahun 2020 menyebutkan bahwa Komnas HAM telah membentuk Tim Ad-Hoc Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dengan tujuan mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut ke tahapan penyidikan dan penuntutan, bukan malah menolaknya berkali-kali. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa Jaksa Agung adalah jabatan politis yang diisi oleh orang pilihan Presiden.
Seharusnya yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam merespon temuan komnas HAM adalah mendorong percepatan pembentukan pengadilan HAM, agar keempat elemen penting hak korban bisa terpenuhi, yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum (pengadilan), pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan.
- Menjebak Korban Atas Nama Hak Atas Pemulihan
Tidak bisa dinafikan bahwa terobosan melakukan pemulihan bagi korban tanpa menunggu adanya putusan pengadilan adalah penting, mengingat korban telah lama menunggu intervensi negara. Perlu diingat pemulihan korban dan mengadili pelaku adalah dua hal yang berbeda. Pemulihan korban mestinya dilakukan oleh negara tanpa harus menggunakan embel-embel “penyelesaian kasus” segala, karena bisa berimbas pada terjadinya preseden buruk dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Seolah-olah negara bebas melakukan pelanggaran HAM warga negaranya, setelah itu tinggal bayar.