BerandaOpiniMualem dan Ikhtiar Menjaga Aceh

Mualem dan Ikhtiar Menjaga Aceh

Published on

SUATU siang di awal tahun 2003 atau sebulan setelah Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), menjadi hari yang paling berkesan bagi saya. Hari itu, sebagai anak muda Aceh dengan semangat perjuangan membuncah, saya bersua untuk pertama kali dengan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem. 

Pertemuan di pedalaman Nisam, Aceh Utara, itu terjadi dalam suasana jeda kemanusiaan. Pemerintah Indonesia melalui duta besarnya di PBB, Hassan Wirajuda, menandatangani kesepakatan itu di Jenewa. Pihak GAM diwakili oleh Zaini Abdullah, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan GAM. Karena dalam situasi jeda kemanusiaan, TNI mengerem laju operasi mereka di Aceh. GAM memanfaatkan kondisi dengan melakukan melakukan konsolidasi di Aceh Utara. Kemudian, kita tahu bersama, jeda itu hanya sementara. 

Saya datang sebagai perwakilan mahasiswa yang saat itu tergabung dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Itu pertemuan pertama saya. Setelah itu ada banyak pertemuan lainnya. Kadang saya berada di jalan yang sama dengan Mualem, kadang juga berseberangan jalan politik. 

Ketika itu, dia banyak berbicara tentang perjuangan, tentang Aceh yang merdeka sebagai sebuah bangsa. Mualem mengimpikan Bangsa Aceh berdaulat mengurus dirinya sendiri, mengurus tanahnya sendiri. Dia menampilkan Aceh sebagai sebagai rumah, jika pun rumah itu tanpa perabot, tanpa marmer atau hiasan, rumah tetaplah rumah. Di situ kita hidup dalam susah maupun senang bersama keluarga tercinta. Kehendak sejarah kemudian menyebutkan lain; Aceh berdamai dengan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Cita-cita Aceh sebagai sebuah negara tertunda, tapi cita-cita perjuangan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Aceh terus dilakukan hingga hari ini. 

Sebagai panglima, dia sosok yang ramah, tidak angkuh, dan tidak sombong. Selama hidup saya banyak menjumpai panglima GAM yang, karena latar belakang militernya, dianggap sangar dan keras, tapi Mualem hampir tidak pernah marah. Setahu saya dia tidak pernah menampilkan dirinya sebagai seorang jenderal militer. 

Dia orang yang bersahaja. Mau duduk dan berbicara dengan siapa pun. Tak pernah mengambil jarak dengan orang-orang kecil. Perbedaan dia dengan Teungku Abdullah Syafi’i dan Teungku Ishak Daud cuma satu; Teungku Lah dan Ishak Daud sering tampil di depan media dan punya komunikasi yang baik dengan wartawan ketika perang. Mualem tidak. Dia jarang berbicara kepada media. 

Lainnya mereka sama. Mereka ini sama-sama hidup di barisan rakyat. Berjuang bersama pasukannya dari bawah. Garis hidup Ishak Daud dan Teungku Abdullah Syafi’i laksana panglima perang Hamas Yahya Sinwar, yang lahir dan hidup dari rakyat, serta bertempur di barisan depan, bukan di hotel berbintang atau di ruangan ber-AC. Mualem memang ditakdirkan untuk terus menjalankan cita-cita perjuangan. 

Sebagai manusia biasa dan seorang Muzakir Manaf, dia mungkin sulit melanjutkan titah itu. Dia ingin istirahat, menikmati masa tuanya bersama keluarga. Tapi sebagai seorang Mualem, seorang panglima perang, dia diwajibkan untuk terus berada di baris depan. Apa pun risikonya. Termasuk risiko dihujat ketika gagal. Apa pun yang terjadi, dia tetap harus memanggul tanggung jawab itu. 

Saya ingat petuah guru mengaji saya ketika kecil di Kiran, Pidie Jaya, “Kamu tidak akan memahami penderitaan orang jika kamu tidak pernah merasakannya. Kamu tidak akan tahu bagaimana sakitnya orang menahan lapar jika kamu tidak pernah merasakan lapar.”

Petuah itu saya ingat hari ini. Jangan harap pemimpin Aceh merasakan memahami penderitaan rakyat Aceh jika dia tidak pernah merasakan derita itu. Mualem sosok yang pernah merasakan penderitaan menjadi rakyat kecil. Dia paham bagaimana penderitaan rakyat. 

Ketika Irwandi Yusuf mencetuskan program jaminan kesehatan bagi rakyat Aceh pada 2007, Mualem orang yang terdepan mendukungnya. Bagi Mualem, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Kesehatan dan pendidikan adalah hak dasar bagi rakyat Aceh. Hal itu dia buktikan dengan tetap memasukkan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dalam visi-misinya ketika Pilkada 2012 dan Pilkada 2017, walaupun dia tahu program itu lebih identik dengan Irwandi Yusuf yang dalam dua Pilkada itu menjadi lawan politiknya. Sayangnya, karena dinamika politik yang terjadi ketika dia menjadi wakil gubernur, apa yang dia cita-citakan tidak kesampaian. 

“Menyoe na ureung saket, pemerintah wajeb peu ubat sampe puleh. Soal bayeu nyan tanggung jaweub pemerintah. Keupeu cit pemerintah munyoe nyan han ek jipike.” Saya beberapa kali mendengar Mualem mengucapkan itu ketika saya di Komisi V DPRA berdiskusi soal anggaran JKA dengan Mualem. 

Dia menginginkan layanan kesehatan bagi rakyat menyentuh hal-hal dasar. Program rumah sakit regional yang dia cita-citakan ketika menjadi wakil gubernur Aceh tidak dilanjutkan oleh pemerintah selanjutnya. Padahal, jika ini terjadi maka Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin yang berada di Banda Aceh tidak akan kewalahan menangani pasien. 

Saya menjadi saksi bagaimana program pembangunan rumah sakit regional di masa pemerintahan Nova Iriansyah tidak jalan karena uangnya dibawa untuk keperluan lain seperti proyek multiyears dan hal lain yang tidak tahu. Kita semua pasti tahu siapa pemain yang menyebabkan ini terjadi. 

Orang-orang yang hari ini menjadi lawan Mualem adalah mereka yang dulunya tidak memikirkan pelayanan kesehatan dasar bagi rakyat Aceh. Ketika hak interpelasi dan hak angket digulirkan oleh DPRA masa itu, mereka orang-orang yang mencoba menjegalnya. Pernah, suatu hari, DPRA mendapatkan surat dari Pemerintah Aceh tentang usulan pembangunan Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) dengan skema hutang. Pembayarannya selama 10 tahun. Saya bersama Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin langsung menentangnya. Usulan itu tidak didasari demi pelayanan kesehatan bagi rakyat Aceh, tapi untuk keperluan pundi-pundi proyek orang yang mengusulkan. 

Rabu esok akan menjadi hari yang menentukan bagi rakyat Aceh. Kita akan memilih pemimpin untuk memimpin Aceh 5 tahun ke depan. Saya akan berdiri bersama pemimpin yang bersahaja, tidak angkuh, dan tidak sombong. Pemimpin yang ketika berbicara tidak mendongakkan kepalanya karena merasa dia yang paling hebat. 

Pemimpin yang merasa dirinya paling berpendidikan karena punya ijazah tidaklah layak untuk dipilih. Sombong, angkuh, iri hati, dan dengki, adalah penyakit hati. Penyakit yang paling dibenci oleh Rasulullah Muhammad SAW. 

Mualem memang tidak sempurna. Tapi dia adalah simbol orang Aceh, yang lahir dari rakyat dan besar di jalan perjuangan. Dia tidak angkuh, tidak sombong, dan tidak dengki. Kita semua tahu, orang-orang yang sekarang melawan Mualem adalah mereka yang pernah dibesarkan oleh Mualem dan telah menikmati banyak hal dari Mualem. Tapi dia tidak pernah menampakkan kemarahan. Senyuman yang dia berikan.

Di tengah terpaan fitnah politik, kepada para pengikutnya dia selalu mengingatkan: “Biar orang menanam musuh, kita tetap menanam budi.” Sebagai panglima militer dan kenyang pertempuran di palagan perang, dia amat paham untuk tidak menambah musuh. 

Memilih Mualem adalah ikhtiar kita bersama untuk tetap merawat Aceh. Ikhtiar agar JKA sebagai pelayanan dasar kesehatan bagi rakyat Aceh terus berlanjut. Insya Allah.[]

Penulis adalah warga Kiran, Pidie Jaya. Ketua Komisi V DPR Aceh periode 2019-2024.

Follow konten ACEHKINI.ID di Google News

Artikel Terbaru

Mualem Bertemu Rektor USK Bahas Pendidikan Aceh

Calon gubernur Aceh peraih suara terbanyak di Pilkada 2024, Muzakir Manaf alias Mualem, melakukan...

Almuniza Kamal Sampaikan Pesan Penting untuk Kemajuan Banda Aceh

Pj Wali Kota Banda Aceh yang baru, Almuniza Kamal menggelar silaturrahmi dengan Kepala Organisasi...

Sistem Informasi Perhutanan Sosial di Aceh Diluncurkan

Sistem Informasi Perhutanan Sosial (SIPS) Aceh secara resmi diluncurkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan...

Respons Penjabat Wali Kota Subulussalam soal Guru Lecehkan 13 Siswa

Penjabat Wali Kota Subulussalam Azhari buka suara soal seorang guru berstatus aparatur sipil negara...

Guru Lecehkan 13 Siswa di Subulussalam Jadi Tersangka

Kepolisian Resor Subulussalam menetapkan seorang guru berinisial TB (39 tahun) sebagai tersangka pelecehan seksual...

More like this

Mualem Bertemu Rektor USK Bahas Pendidikan Aceh

Calon gubernur Aceh peraih suara terbanyak di Pilkada 2024, Muzakir Manaf alias Mualem, melakukan...

Almuniza Kamal Sampaikan Pesan Penting untuk Kemajuan Banda Aceh

Pj Wali Kota Banda Aceh yang baru, Almuniza Kamal menggelar silaturrahmi dengan Kepala Organisasi...

Sistem Informasi Perhutanan Sosial di Aceh Diluncurkan

Sistem Informasi Perhutanan Sosial (SIPS) Aceh secara resmi diluncurkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan...