Antje Missbach mendengar cerita ini dari para nelayan saat riset di Aceh. Pada masa konflik, tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menolong dua nelayan Myanmar saat mereka hampir tenggelam di laut.
“Kami memberi mereka senjata dan menunjukkan cara menggunakannya, mereka bergabung dengan kami [GAM] di hutan,” tulis Missbach berdasarkan kutipan wawancara dalam hasil risetnya Facets of Hospitality: Rohingya Refugees Temporary Stay in Aceh (2017).
Peneliti asal Jerman yang menjadi dosen senior di School of Social Sciences, Monash University, Melbourne, Australia, ini menyebut bahwa dua orang itu kemudian menikah dengan perempuan Aceh.
Myanmar, negara asal etnis Rohingya. Missbach tidak menjelaskan apakah dua nelayan itu etnis Rohingya.
Namun dalam risetnya, Missbach mengatakan bantuan masyarakat Aceh kepada pengungsi Rohingya beberapa tahun terakhir menjadi taruhan reputasi Aceh di dunia.
Hasil riset membuktikan bahwa salah satu pendorong rakyat Aceh menolong pengungsi Rohingya menunjukkan reputasi Aceh negeri kosmopolitan.
“Kosmopolitanisme Aceh berakar pada sejarah panjang perdagangan, pertukaran agama, dan juga peperangan,” tulisnya.
“Berbeda dengan wilayah Indonesia yang lebih terpencil, Aceh dianggap sebagai tempat pertukaran, yang disebut Serambi Mekah—itu dianggap sebagai pos terdepan Timur Tengah dan pintu gerbang ke nusantara.”
Menurut Missbach, kosmopolitanisme bagi Aceh menjadi strategi selaras dengan negara-negara besar yang seringkali disertai harapan tinggi ke dunia internasional untuk mendukung Aceh.
Pada akhir abad ke-19, misalnya, rakyat Aceh yang melawan kolonial Belanda menggantungkan harapan pada Turki dan Amerika Serikat.
“Pada tahun 1980-an dan 1990-an, para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di pengasingan menaruh harapan mereka pada Pemerintah Barat, mengharapkan mereka mendukung permohonan kemerdekaan GAM dari Indonesia, namun tidak membuahkan hasil,” tulis Missbach.
Meski kerap terjadi kekecewaan di masa lalu Aceh, Missbach menyebut masih ada orientasi Aceh ke dunia luar. Bahkan, generasi muda Aceh sering menganggap Aceh lebih layak mendapat perhatian dibandingkan tempat lain karena, di mata mereka, Aceh menempati posisi khusus dalam tatanan dunia yang layak mendapat tempat.
Harapan akan dukungan ini diperkuat oleh kehadiran besar para donor dan organisasi bantuan di Aceh setelah tsunami.
“Dengan mengingat dasar sejarah ini, kita dapat melihat bahwa beberapa tindakan keramahtamahan terhadap Rohingya dilakukan untuk meningkatkan reputasi Aceh sebagai Darussalam (negeri yang damai),” tulis Missbach.
“Hal ini merupakan semacam pertunjukan kepada dunia mengenai kelayakan aspirasi kosmopolitan Aceh.”
Missbach menjelaskan, tulang punggung etnis Aceh adalah pluralisme etnis dan keturunan ras yang kompleks. Sebagaimana dicatat oleh John Bowen, masyarakat Aceh tidak pernah menganggap diri mereka sebagai “pribumi”.
Etimologi rakyat Aceh adalah “Arab, Cina, Eropa, Hindia”, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut pernah menjadi tempat migrasi orang-orang dari berbagai penjuru dunia, yang unsur kesamaannya adalah Islam.
“Etimologi rakyat ini sering kita jumpai di percakapan biasa di Aceh. Masyarakat Aceh mengklaim bahwa mereka adalah keturunan kosmopolitan dari seluruh penjuru dunia, namun yang lebih menarik lagi adalah potensi yang melekat dalam klaim ini untuk mengintegrasikan orang asing ke dalam masyarakat Aceh demi kebaikan,” tulisnya.[]