Bakal calon gubernur Aceh Pilkada 2024 Muhammad Nazar memberikan pandangannya terkait kepemimpinan perempuan. Menurutnya, secara historis Aceh termasuk kesultanan Islam yang pernah dipimpin perempuan.
“Secara historis Aceh juga merupakan kesultanan Islam pertama yang justru menempatkan para pemimpin perempuan secara berturut-turut dengan persyaratan-persyaratan,” kata Nazar dalam wawancara khusus dengan tim acehkini beberapa waktu lalu.
“Ketika jadi pemimpin kan justru [perempuan] harus menjadi pengendali untuk tidak terjadi maksiat. Jadi kalau itu ideologinya maka tidak ada yang menakutkan jika perempuan karena ada nilai dan kendali,” lanjutnya.
Nazar memandang kaum perempuan harus membenah diri, bahwa ketika menjadi pemimpin kewajibannya juga sama dengan laki-laki, meski dalam hal tertentu kodratnya sebagai perempuan tetap terjaga.
Video: Nazar Bicara Cagub, Kemiskinan yang Didesain, hingga Kelompok Marginal
Dia memberi pandangan ini menjawab pertanyaan kepemimpinan perempuan yang dikaitkan dengan agama. Menurut wakil gubernur Aceh 2007-2012, hal itu tergantung bagaimana melihat agama. “Tingkat kedalaman dan kebenaran yang dia pandang. Jika salah, tapi meyakini kesalahan itu sebagai kebenaran, ini problem bagi orang lain,” katanya.
Menurutnya, tugas pemimpin daerah atau negara adalah memastikan rakyat mendapatkan haknya dengan baik tanpa mengganggu hak orang lain. “Jadi saya kira pemahaman agama harus diformulasikan di Aceh oleh pemimpin, apakah dalam bentuk qanun secara tepat dan benar. Tidak boleh memunculkan problematika baru,” katanya.
Nazar menilai agama jangan menjadi sebatas simbol, tapi harus substantif. Misalnya, kebersihan toilet masjid dan ketertiban pedagang kaki lima. Namun, hal-hal seperti itu disebut kurang dapat sorotan.
“Justru diperhatikan isu-isu yang Anda bilang tadi, seperti hal-hal yang sangat sensitif yang kemudian dilarang, seperti kepemimpinan perempuan,” katanya.
Fakta: Pemimpin Perempuan di Aceh Dulu dan Kini
Sejauh ini, selain menjadi wakil, belum ada calon perempuan memenangkan Pemilihan Kepala Daerah di Aceh sebagai gubernur ataupun bupati/wali kota. Namun, mereka menjadi wali kota atau bupati karena menggantikan wali kota/bupati yang meninggal ataupun ditunjuk sebagai penjabat.
Sementara itu, dalam pemilihan legislatif, ada beberapa calon legislatif perempuan yang terpilih. Hal ini terlihat dari tingkat DPRK, DPRA, DPD, hingga DPR-RI.
Adapun pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, empat perempuan menjadi sultanah atau ratu secara berturut-turut: Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 Masehi), Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678), Zaqiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699).[]