Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) DPW Aceh mengeluarkan 12 rekomendasi kepada Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan petani di sektor kelapa sawit Aceh. Rekomendasi yang lahir dari focus group discussion (FGD) ini diharapkan mampu mewujudkan hilirisasi produk turunan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang akan menjadi dampak positif bagi petani sawit Aceh.
Demikian disampaikan Ketua DPW APKASINDO Aceh, Netap Ginting kepada awak media, Selasa (19/11/2024). Netap mengungkapkan hilirisasi ini merupakan strategi untuk meningkatkan nilai tambah yang dimiliki provinsi Aceh dalam urusan perkebunan kelapa sawit. Hilirisasi ini dapat dilakukan dengan mengubah komoditas dalam bentuk mentah menjadi barang setengah jadi atau jadi.
“Mengingat luas perkebunan kelapa sawit di Aceh sekitar 535.000 hektare, dengan produksi CPO rata-rata 1 juta ton per tahun, serta sering terjadinya kelangkaan BBM di Aceh, sangat memungkinkan pemerintah untuk membangun pabrik pengolah biodiesel yang bahan bakunya berasal dari CPO,” terangnya.
Netap juga memaparkan ruang untuk peningkatan penerimaan pajak Aceh dan dana bagi hasil sawit (DBH) dengan meningkatkan efesiensi dalam pengangkutan CPO, agar Pemerintah Aceh bersikap tegas kepada semua pemilik pabrik kelapa sawit untuk memanfaatkan fasilitas pelabuhan yang ada di Aceh.
“Apabila pengiriman CPO melalui pelabuhan yang ada di Aceh akan meningkatkan harga tandan buah segar petani, dan mengurangi kerusakan ruas jalan nasional,” paparnya.
Hingga kini, kata Netap, Aceh merupakan satu-satunya dari 25 provinsi perkebunan sawit yang memiliki dua harga yang berbeda yang ditetapkan pemerintah, yaitu harga TBS wilayah timur dan harga TBS wilayah barat.
“Wilayah barat selalu lebih rendah dari harga TBS di wilayah timur, untuk keadilan dan penyetaraan harga, Pemerintah Aceh penting membangun atau meningkatkan fasilitas pelabuhan untuk aktivitas pengangkutan CPO dan komoditi pertanian lainnya yang berada di wilayah barat selatan,” jelasnya.
Selain itu, pada rekomendasi yang dilayangkan pihaknya, APKASINDO Aceh juga mendesak Pemerintah Aceh untuk segera mengimplimentasikan secara utuh Pergub Nomor 21 Tahun 2022 tentang tata cara penetapan harga TBS dan penentuan indeks “k” produksi pekebun.
“Makin lamban penerapan pasal 6 ayat 1 point e tentang rendemen sisa cangkang dan pasal 6 ayat 5, maka makin dirugikan petani karena sisa cangkang belum jadi faktor penguat harga TBS milik petani,” jelasnya.
Dalam FGD itu juga APKASINDO berharap kepada Penjabat Gubernur Aceh yang memiliki kapasitas agar melakukan perbaikan tata kelola persawitan di Aceh, untuk optimalisasi penerimaan Aceh. Selanjutnya meninggalkan landasan rencana aksi dan panduan ringkas serta meneruskan aspirasi petani kelapa sawit kepada gubenur definitif nantinya.
“Hal ini mengingat Pj Gubernur Aceh merupakan salah satu anggota satgas kelapa sawit sesuai Keppres Nomor 9 Tahun 2023 tentang satuan tugas peningkatan tata kelola industri kelapa sawit dan optimalisasi penerimaan negara,” sebutnya.
Rekomendasi lainnya yang dirumuskan oleh Tim APKASINDO yang diketuai oleh Fadhli Ali, ialah pemanfaatan pembiayaan sarpras dari Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDPKS) agar produksi dan produktifitas setara atau bahkan lebih baik dengan daerah lain.
Peninjauan kembali izin HGU dalam rangka pengoptimalan pemanfaatan lahan, dan menghindari konflik sosial yang disebabkan penguasaan lahan oleh perusahaan dan masyarakat sekitar.
Pemerintah Aceh diminta bersikap tegas menegakkan aturan dan meningkatkan kepatuhan PKS antara lain dalam memenuhi kewajiban menyampaikan laporan pembelian TBS dan pemasaran hasil kepada Pemerintah Aceh. Kemudian penyelenggaraan sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan mengingat hingga saat ini kebun petani di Aceh hanya 5 persen yang terferifikasi ISPO dan RSPO.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh diminta menyediakan penyuluh monovalen kelapa sawit, perlu mengangkat 1 orang penyuluh lapangan (PPL Sawit). []