BELASAN pria pengungsi Rohingya itu sedang dalam posisi sujud ketika demonstran memasuki lantai bawah Balai Meuseuraya Aceh, Kota Banda Aceh, Rabu (27/12/2023) siang. Itu sujud akhir, sebelum mereka bangkit, dan melakukan gerakan salam tanda menutup ‘pertemuan’ dengan Sang Pencipta.
Salat Zuhur berjemaah siang itu tak seperti biasanya. Demonstran datang ke penampungan pengungsi Rohingya sementara di Balai Meuseuraya Aceh, gedung yang berarti ‘gotong royong’.
Demonstran hendak mendekat ke arah jemaah pengungsi Rohingya. Tapi, demonstran yang lain melarang dan meminta mereka menjauh. Teriakan bertalu-talu terdengar menggema memenuhi ruang itu.
Demonstran mundur sejenak. Namun, beberapa saat kemudian, mereka balik membawa dua truk berkelir kuning.
Demonstran yang menggunakan baju beberapa universitas itu mendekat ke pojok—tempat pengungsi Rohingya sementara ini melanjutkan hidup usai melalui perjalanan berbahaya di laut.
Di sana, beberapa barang pengungsi yang terbungkus kantong plastik biru terbang ke arah pengungsi Rohingya yaitu anak-anak dan perempuan. Tangis pecah. Pengungsi lalu segera melambai tangan ke kiri dan kanan.
Polisi yang mengawal aksi itu menjaga pengungsi dan melarang demonstran melempar. Beberapa demonstran juga ikut menghalangi teman-temannya.
Sekitar pukul 15.00 WIB, demonstran meminta pengungsi Rohingya pindah secara paksa. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berbaris—membawa barang-barang mereka.
Demonstran membentuk barisan di sisi kanan dan kiri—semacam lorong. Pengungsi Rohingya lalu diminta melalui di tengah barisan itu dan kebanyakan demonstran merekam dengan ponsel mereka. Beberapa di antaranya ikut menyoraki pengungsi.
Di luar gedung, satu per satu menaiki truk yang telah disiapkan. Mereka dibawa ke Kantor Wilayah Hukum dan HAM Aceh, berjarak beberapa ratus meter.
Di sana, pengungsi Rohingya ini diturunkan di halaman. Sementara demonstran berada di seberang pagar. Mereka menanti nasib yang tak pasti di negeri Serambi Mekkah—tanah yang warganya dulu bernasib serupa dengan etnis Rohingya yang terusir dari negerinya di Myanmar.
Koordinator demonstran T Wariza Arismunandar mengatakan mereka membawa Rohingya ke Kanwil Kemenkumham Aceh karena dinilai sebagai pihak yang seharusnya menjadi garda depan menangani kehadiran Rohingya. “Tapi hari ini mereka hanya diam seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Aceh terkait Rohingya,” katanya.
“Kami bawa ke kantor Kemenkumham untuk mendesportasi Rohingya dari Aceh.”
Juru Bicara UNHCR Asia Pasifik Babar Baloch dalam keterangan pers kepada acehkini dan sejumlah media lainnya terkait peristiwa tersebut menyatakan keresahannya.
“Massa menerobos barisan polisi dan secara paksa memasukkan 137 pengungsi ke dalam dua truk, dan memindahkan mereka ke lokasi lain di Banda Aceh. Peristiwa ini membuat para pengungsi terkejut dan trauma,” kata UNHCR.
UNHCR sangat khawatir mengenai keselamatan para pengungsi dan menyerukan kepada aparat penegak hukum setempat untuk mengambil tindakan segera, guna memastikan perlindungan bagi semua individu dan staf kemanusiaan.
Menurut UNHCR, serangan terhadap pengungsi bukanlah sebuah tindakan yang terisolasi namun hasil dari kampanye online yang terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian terhadap pengungsi.
“Dan upaya untuk memfitnah Indonesia dalam upaya menyelamatkan nyawa orang-orang yang putus asa dalam kesusahan di laut,” katanya.
Pengungsi Korban ‘Pingpong’
Pengungsi di Balai Meuseuraya Aceh menjadi korban ‘pingpong’ berulang kali. Berjumlah 137 orang, mereka tiba di Blang Ulam, Aceh Besar, pada Ahad (10/12/2023) pagi setelah melalui perjalanan laut berbahaya dari kamp Cox’s Bazar, Bangladesh.
Mereka kemudian mendapatkan makanan dan minuman. Tapi, malamnya warga membawa para pengungsi itu menggunakan empat mobil ke kantor gubernur Aceh di Banda Aceh. Tujuan semula ke kantor Imigrasi yang belakangan ini tutup karena renovasi.
Dari sana, mereka diangkut dengan sejumlah truk ke bumi perkemahan Pramuka di Pidie. Sampai di sana, kedatangan pengungsi disambut penolakan. Malam itu truk mereka kembali ke kantor gubernur. Senin pagi, mereka dipindahkan ke Taman Ratu Safiatuddin.
Dari Taman, siangnya mereka dibawa ke kantor milik Dinas Sosial Aceh di Ladong, Aceh Besar. Penolakan juga terjadi. Akhirnya mereka diturunkan di Balai Meuseuraya Aceh.
Muhammad, seorang pengungsi dalam wawancara acehkini di Taman Ratu Safiatuddin mengatakan angkat kaki dari kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh. Ia membawa istri dan dua anaknya.
Situasi di kamp itu sekarang sedang tak aman. “Ada geng yang saling tembak. Orang mati hal biasa,” katanya.
Saat malam tiba, geng dari Myanmar dan Bangladesh masuk ke kamp pengungsian. Bentrokan lalu meletus. “Satu malam 4 sampai 6 orang mati.”
Menghindari perang antargeng, Muhammad menumpang perahu lalu melalui perjalanan laut: laut Benggala dan Selat Malaka yang gemuruh.
Saat naik kapal bersama keluarganya, dia punya bayangan akan tiba di Thailand, Malaysia, dan Indonesia—kawasan tempat kapal-kapal mereka biasanya berlabuh. “Ke mana saja,” katanya.
“Nasib baik sampai Aceh.”
Tapi kenyataannya, nasib tak sebaik yang diharapkan Muhammad. Dia kemudian ditetapkan tersangka dugaan penyelundupan manusia oleh Kepolisian Resor Kota Banda Aceh.
Foto: Isak Tangis Pengungsi Muslim Rohingya di Aceh Tanah Syariat
‘Pertolongan dari Allah’
Di halaman Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh, Muhammad Sufi bersila di lantai sesaat setelah turun dari truk yang dibawa demonstran. Ia mengenakan peci di kepala dan kain sarung. Tas berisi barangnya tak jauh darinya.
Di hadapan seorang polisi yang merekamnya dengan ponsel, Sufi membaca hafalan Al-Fatihah—surah pertama Al-Qur’an. Ketika acehkini mendekat dan merekamnya, Sufi melanjutkan membaca Surah An-Nasr.
“Idzaa jaa-a nashrullahi wal fath,” lantunannya mengawali ayat pertama surah itu dengan merdu.
Sufi tak bisa bahasa Inggris atau Melayu. Tapi ayat itu bermakna: apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
Di luar pagar Kanwil Kemenkumham sore itu, demonstran terus memberi suara penolakan. []