Tangis perempuan Rohingya itu tak saja terlihat dari air mata yang membanjiri pipi. Tapi isaknya cukup terdengar jelas. Sedu sedan ini menggema bercampur dengan teriakan demonstran di lantai bawah tanah Balai Meuseuraya Aceh, di jantung Aceh—tanah syariat Islam.
Rabu siang (27/12/2023), lebih dari seratus pengungsi Rohingya itu secara mendadak kedatangan demonstran yang menolak keberadaan pengungsi. Anak-anak histeris. Ibunya juga tak kuasa menahan rasa sedih. Tangis pecah.
Di sudut lain, belasan pria pengungsi Rohingya sedang berada di rakaat akhir salat Zuhur berjemaah. Mereka bergegas menutup ‘pertemuannya’ dengan Sang Pencipta. Beberapa demonstran hendak mendekat saat pengungsi mendekatkan dahinya ke lantai—bersujud. Tapi demonstran yang lain melarang dan meminta mereka menjauh.
Sekitar pukul 15.00 WIB, demonstran meminta pengungsi Rohingya pindah secara paksa. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berbaris—membawa barang-barang mereka. Satu per satu lalu menaiki truk, dan dibawa ke Kantor Wilayah Hukum dan HAM Aceh, berjarak sekitar beberapa ratus meter.
Di sana, pengungsi Rohingya ini diturunkan di halaman. Sementara demonstran berada di seberang pagar. Mereka menanti nasib yang tak pasti di negeri Serambi Mekkah—tanah yang warganya dulu bernasib serupa dengan etnis Rohingya yang terusir dari negerinya di Myanmar.
Sejak pertengahan November lalu, beberapa gelombang pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Jumlahnya kini lebih dari 1.500 orang.
Mereka pergi dari kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh dan melalui laut Andaman dengan situasi yang berbahaya hingga akhirnya tiba di Aceh.
Orang-orang Rohingya menjadi etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Mereka diusir dan tak diakui warga negara di tanah airnya: Myanmar. Bertahun-tahun, mereka hidup di kamp pengungsian di Bangladesh, jumlahnya lebih dari sejuta orang. []