Bencana dahsyat Gempa dan Tsunami Aceh telah berlalu 19 tahun. Warga Aceh bahkan dunia mengenang musibah pada 2004 silam ini setiap 26 Desember saban tahun.
Mengenang bencana ini, Anda dapat mengunjungi sejumlah situs yang sekarang ini menjadi objek wisata tsunami. Selain mengisi libur, tapi juga belajar memahami bagaimana mitigasi andai bencana serupa terulang kembali.
Beberapa di antara sejumlah situs wisata Tsunami Aceh yang dapat dikunjungi di Banda Aceh dan Aceh Besar:
Museum Tsunami
Bangunan itu terpacak megah pada lahan seluas satu hektar. Dari sudut jauh lapangan Blang Padang, Banda Aceh, sekilas tampak seperti perahu lengkap cerobong asapnya. Dinding seperti anyaman bambu. Mendekat dan masuk ke dalamnya, tiang-tiang kokoh menopang bangunan seperti konsep rumah tradisional Aceh.
Itulah landmark kedua Kota Banda Aceh setelah Masjid Raya Baiturrahman. Sebuah museum yang dibangun untuk mengenang tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Letaknya berhadapan dengan lapangan Blang Padang.
Museum ramai dikunjungi saban hari, anak sekolah, wisatawan lokal, nasional bahkan mancanegara. Anak-anak sekolah kadang dibawa oleh gurunya ke sana untuk sekadar belajar dan mengingat tsunami.
Bangunannya unik dengan konsep rumoh Aceh. Museum itu telah direncanakan lama untuk menjadi warisan bagi dunia dalam mengingat tsunami Aceh. Museum hasil desain M. Ridwan Kamil, dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), yang saat itu Gubernur Jawa Barat.
Museum diresmikan Presiden Indonesia, Susilo bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009. Di setiap bagian bangunan menyimpan memori tentang tsunami, banyak foto-foto dan audio visual yang dapat dilihat setiap pengunjung di ruang memorial.
Kapal Apung
Kapal Apung di kawasan Punge, Banda Aceh, menjadi bukti nyata ombak raya. Saat tsunami datang, kapal yang difungsikan sebagai pembangkit listrik di lepas pantai, digiring gelombang laut ke tengah pemukiman warga. Alhasil, berlabuhlah kapal berbobot mati 2.600 ton dengan panjang 63 meter ke darat. Bergeser sekitar 5 kilometer dari tempat seharusnya kapal itu berada.
Kini, kapal itu telah berubah fungsi. Oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, kapal dimasukkan sebagai salah satu objek wisata tsunami di ibukota provinsi. Para pengunjung pun ramai datang, melihat dekat sisa tsunami dan membayangkan besarnya bencana tsunami 18 tahun silam.
Berada di atas kapal, sebuah pemandangan tersaji. Pengunjung akan tahu, berapa jauh kapal itu terseret arus tsunami, karena dari geladak setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan dermaga Ulee Lheu. Sebagian kota juga terpampang dari atas sana.
Mesin pembangkit listrik tak ada lagi di dalam kapal, telah dipindahkan sejak akhir 2010 silam. Saat malam, lampu-lampu dihidupkan dengan memakai arus listrik, sama seperti fasilitas penerangan ke rumah-rumah warga.
Lokasi kapal apung selalu ramai akhir tahun, bersamaan dengan peringatan tsunami. Berbagai event mengenang bencana digelar di sana, dari pameran foto sampai doa bersama. Sekolah-sekolah juga kerap menjadikannya sebagai tempat belajar para siswa, berwisata sambil mendidik.
Masjid Ulee Lheue
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue adalah saksi bisu sejarah Aceh sejak masa perang melawan Belanda hingga bencana tsunami. Terletak di Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, masjid ini menjadi tsunami heritage sekaligus situs wisata religi di Serambi Mekkah.
Ketika tsunami melumat pesisir Aceh 26 Desember 2004, Ulee Lheu rata tanah. Satu-satunya bangunan tersisa adalah Masjid Baiturrahim. Padahal letaknya hanya terpaut puluhan meter dari bibir pantai. Dari 6 ribuan penduduk di desa ini, separuh lebih menjadi korban. Empat dusun raib ditelan gelombang.
Menurut saksi mata, usai gempa 9,2 skala richter Minggu pagi itu, gelombang raya menerpa daratan. Banyak orang menyelamatkan diri dalam masjid. Hanya sembilan orang yang berhasil naik ke pucuk masjid selamat, selebihnya diseret arus.
Bangunan masjid yang tanpa rangka besi dan tulang penyangga ini mengalami kerusakan sekira 20 persen di sisi samping dan belakang. Kerusakan ini sudah diperbaiki sehingga tak lagi terlihat. Di bagian samping masjid, ada bangunan yang kemudian berisi foto-foto kondisi masjid setelah diterjang tsunami yang bisa disaksikan wisatawan. Di sana juga tersedia aneka cenderamata yang bisa dibawa pulang.
Masjid Baiturrahim adalah peninggalan kesultanan Aceh. Dibangun sekira abad ke-17 Masehi, semasa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Masjid dibangun secara swadaya oleh masyarakat di atas tanah yang diwakafkan oleh Teuku Hamzah, seorang Hulubalang di Ulee Lheu.
Pada mulanya masjid ini hanya berkontruksi kayu sederhana dengan arsitektur khas Hindu. Letaknya bangunannya di samping masjid sekarang, atau tepatnya di pertapakan menara. Saat itu masih bernama Masjid Jami Ulee Lheu.
Nama Baiturrahim ditabalkan setelah Masjid Baiturrahman yang berada di pusat kota, dibakar serdadu Belanda pada invasi tahun 1873 M. Segala aktivitas peribadatan seperti salat Jumat kemudian dipindah ke Masjid Baiturrahim.
Ketika Belanda menyerang Aceh pertama sekali melalui Ulee Lheue, Masjid Baiturrahim merupakan salah satu basis perlawanan rakyat Aceh saat itu. Setelah menguasai Ulee Lheu, Belanda kemudian menjadikan kawasan ini sebagai kota pelabuhan, tempat kapal pengangkut rempah-rempah bersandar.
Belanda ikut membantu pembangunan Masjid Baiturrahim secara permanen dengan arsitektur khas Eropa. Tanpa menggunakan besi dan tulang penyangga, masjid ini dibangun hanya dari tumpukan batu-bata dan semen. Kayu digunakan berasal dari India. Masjid makin terlihat indah dengan ukiran-ukiran bahasa Arab penuh makna di dalamnya.
Hanya bertahan sekitar satu dekade, bagian depan masjid kemudian direnovasi karena dinilai mirip bangunan gereja. Ketika gempa besar melanda Aceh tahun 1983, kubah masjid ini sempat rubuh. Sejak itu masjid ini tak lagi berkubah.
Sepuluh tahun kemudian masjid ini direnovasi besar-besaran, diperluas hingga dua lantai, namun bangunan aslinya tetap disisakan yakni pada bagian depan. Hingga bencana maha dahsyat tsunami menerjang, Baiturrahim tetap agung berdiri di bibir pantai Ulee Lheue.
Kapal di Atas Rumah
Kapal kayu sepanjang 25 meter dengan lebar 5,5 meter itu sekarang ini berada di atas rumah warga di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Tsunami menyeret kapal ini lebih dari satu kilometer dari tempat sandaran di pelabuhan Lampulo.
Manakala bencana besar itu melanda, kapal ini juga menyelamatkan 59 warga setempat. Mereka naik ke kapal dan selamat dari amukan tsunami. Kapal lalu terdampar di atap rumah warga.
Dari pagi, warga bertahan di kapal sampai sore. Setelah memastikan air benar-benar surut, barulah warga turun. Sampai kini, kapal di atas rumah itu dirawat dan menjadi objek wisata tsunami. Sejumlah orang yang selamat di kapal itu kini menjadi pemandu bagi wisatawan.
Kuburan Massal Ulee Lheue
Di tanah lapang ditumbuhi rumput hijau ini sedikitnya 14.264 jenazah korban tsunami dimakamkan. Kuburan massal korban tsunami Ulee Lheue ini berada di Gampong Ulee Lheue, Meuraxa Banda Aceh.
Tiap peringatan tsunami, ratusan warga berziarah ke makam massal ini. Mereka duduk bersila di makam tak bernisan itu lantas berdoa dan baca ayat Al-Qur’an.
Di lokasi ini juga terdapat puing-puing Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa yang hancur terkena tsunami. Bekas bangunan ini dibiarkan apa adanya sebagai pengingat bukti kedahsyatan tsunami.
Kuburan Massal Siron
Sama seperti kuburan massal di Ulee Lheue, di Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, justru lebih luas. Di sini tercatat ada 46.718 jenazah dikuburkan. Kuburan massal Siron menjadi terbesar tempat pemakaman korban tsunami di Aceh.
Proses penguburan dilakukan sejak beberapa setelah tsunami hingga tiga bulan lamanya. Mayat didatangkan dengan truk lalu diturunkan ke liang kubur yang digali dengan alat berat. Pemakaman dilakukan serba darurat. Sekali lubang kubur ditimbun, ada ratusan mayat di dalamnya.
Kuburan ini letaknya persis di Jalan Blang Bintang, akses keluar dan masuk Bandara Iskandar Muda Aceh Besar. Karena itu, kuburan Siron menjadi tempat pengunjung yang baru tiba di Aceh istirahat sejenak, berziarah, dan berdoa.[]