Pada 16 November 2024, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Student Mobility yang diadakan oleh UIN Ar-Raniry Banda Aceh di CSEAS, Kyoto University, Jepang. Perjalanan selama seminggu di Negeri Sakura menjadi pengalaman yang sangat berharga dan tak terlupakan bagi saya.
Dalam waktu singkat tersebut, saya mengikuti kegiatan belajar di kelas bersama Professor Michael Feener dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Professor Frank Korom dari Boston University, serta Professor Sumanto Al-Qurtuby dari King Fahd University. Selain belajar tentang Sejarah dan Budaya Islam di kelas, saya juga mendalami budaya dan kehidupan masyarakat Jepang.
Di dalam kelas, saya mendapatkan berbagai penjelasan menarik tentang topik-topik seperti Muslim Material Cultures, Literary Traditions, Itineraries and Institutions of the Ulama, serta banyak ilmu lainnya yang sangat bermanfaat. Selain itu, saya juga memperhatikan bagaimana sistem pembelajaran di luar negeri sangat atraktif dan antusias.
Para mahasiswa aktif berdiskusi dengan kritis dan konstruktif dalam merespons penjelasan dosen. Mereka melontarkan pertanyaan berdasarkan referensi yang solid, bukan hanya demi nilai, tetapi untuk memahami dan menganalisis secara mendalam setiap topik maupun masalah yang dibahas, tanpa bergantung sepenuhnya pada penjelasan dosen. Mereka bahkan mempelajari materi tersebut jauh sebelum kelas berlangsung.
Dalam diskusi, mahasiswa saling menghormati dan tidak mengambil hati terhadap kritik yang disampaikan. Bagi saya pribadi, suasana diskusi kelas yang hidup dan menyenangkan ini memotivasi saya untuk semakin antusias dalam belajar.
Hari pertama di Jepang, saya harus menyesuaikan diri dengan cuaca yang sangat dingin, dengan suhu berkisar antara 8°C hingga 17°C. Hal ini cukup mengejutkan bagi saya, tetapi perlahan saya mampu beradaptasi.
Jepang terkenal dengan budayanya yang disiplin, dan saya menyaksikan hal itu secara langsung. Contohnya, saat saya melihat jadwal kereta yang tertulis pukul 09.16, keretanya sudah tiba di stasiun pada pukul 09.15. Orang-orang di Jepang berjalan dengan cepat, dan semua hal dilakukan secara efisien.
Saat saya memesan makanan, pelayan dengan sigap langsung menanyakan pesanan saya dan menyajikannya tanpa ragu. Hal yang sama juga terjadi di transportasi umum. Ketika saya membayar ongkos bus, sopir tampak ingin proses pembayaran berlangsung cepat agar perjalanan berikutnya tidak terlambat. Budaya menghargai waktu sangat terasa dalam setiap aktivitas masyarakat Jepang, dan hal ini membuat saya sadar betapa pentingnya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Jepang memiliki kebijakan ketat dalam pengelolaan sampah dan pengendalian polusi udara. Merokok hanya diperbolehkan di tempat-tempat tertentu, dan mayoritas masyarakat menggunakan sepeda atau transportasi umum untuk bepergian.
Tempat sampah sangat jarang ditemukan di trotoar atau area umum lainnya karena masyarakat Jepang terbiasa membawa sampah mereka pulang atau membuangnya di tempat khusus yang telah disediakan. Kebiasaan ini mencerminkan tanggung jawab tinggi terhadap kebersihan lingkungan. Hasilnya, udara di Jepang sangat sejuk dan bersih, jauh dari polusi.
Bangunan di Jepang cenderung kecil dengan desain minimalis. Atap rumah yang rendah menunjukkan efisiensi penggunaan ruang di area yang terbatas. Desain bangunan yang kokoh dan sederhana ini juga terlihat pada mobil-mobil di Jepang, yang dirancang kecil dan simpel agar mudah digunakan di jalanan sempit dan area parkir. Ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya efisiensi dalam maupun kehidupan sehari-hari.
Pengalaman seminggu ini menjadi hal yang sangat berharga dan tak terlupakan. Berbagai hal yang saya amati, pelajari, dan rasakan selama program Student Mobility di Kyoto University meninggalkan kesan mendalam. Walau hanya berlangsung selama sepekan, setiap detik yang saya lalui penuh dengan makna, membuka cakrawala baru yang memperkaya jiwa dan menciptakan kenangan yang tak ternilai.[]
SYARIFAH JULIA FADHLUL, mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh.