Ragam senjata khas yang pernah digunakan pejuang Aceh saat perang, tertata rapi di ruang pamer lantai tiga Museum Aceh. Semuanya ditaruh di dalam beberapa kotak kaca yang dibuat khusus, dipisah-pisah sesuai jenis, dari rencong, peudeng sampai senapan. Sementara meriam kecil (lila) diletakkan di lantai, perisai ditaruh di dinding, juga terlihat satu tombak yang menyatu dengan sebuah lukisan besar tentang perang Aceh.
Medio Agustus 2021 lalu, kami diberikan izin oleh Kepala Museum Aceh, Mudha Farsyah untuk mengakses ruangan itu guna riset dan dokumentasi. “Senjata-senjata koleksi museum terutama rencong dan pedang sangat banyak di museum, sebagian besarnya tersimpan di gudang. Hanya sebagian kecil di ruang pamer,” jelasnya.
Senjata-senjata warisan perang di Museum Aceh terawat rapi, umumnya berasal dari abad ke-17 sampai abad ke-19. Sebagiannya telah dilakukan digitalisai, untuk dipublikasi kepada khayalak umum. Saban tahun, juga digelar pameran yang biasanya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Museum Aceh, jatuh pada setiap 31 Juli. Tahun ini karena pandemi Covid-19, acara digelar virtual.
Di antara ragam senjata Aceh, rencong sebagai senjata khas paling populer. Keberadaan benda budaya itu tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat, dipergunakan sebagai senjata, sebagai perkakas, dan sebagai perhiasan dalam berbagai upacara adat.
Di masa perang melawan Belanda, banyak kisah tertulis tentang rencong yang mengiringi semangat kepahlawanan. Senjata berbentuk kalimat Bismillah itu menjadi simbol keberanian dan keperkasaan warga Aceh untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
Snock Hurgronje (1906) mencatat, rencong dan bungkoh ranub atau kain yang dilipat, hampir tidak dapat dipisahkan dengan orang Aceh saat bepergian ke luar daerah. Di dalam kain yang dilipat tersebut, mereka menyimpan seluruh peralatan untuk mengunyah daun sirih, yang berada dalam kotak kecil berornamen.
Para pejabat atau mereka yang sedang melakukan perjalanan, biasanya juga membawa bekal tambahan berupa pedang Aceh (sikin panyang), senjata dalam pertempuran yang memiliki lebar sama dari pangkal sampai ujung dan ditempatkan dalam sarung. Sementara gliwang (kelewang) kerap dibawa oleh pengawal raja untuk dipamerkan, atau dibawa dalam misi ekspedisi perdagangan atau saat berjalan di gampong-gampong kala malam hari. Sebagai tambahan dari bekal dan senjata, sebagian masyarakat di wilayah Aceh dulunya juga membawa sepasang tumbak (tombak) atau lembing, demikian juga senjata api bagi yang memilikinya.
Dalam sejarah, Aceh mencatat kelengkapan persenjataan paling beragam. Pedang dan senjata tikam (rencong) bukan saja sebagai persenjataan perang belaka, tetapi juga dipakai sebagai perlengkapan dalam upacara-upacara kebesaran tertentu. Namun di antara persenjataan yang ada, hanya rencong yang diakui sebagai lambang untuk mewakili daerah Aceh. (Barbara Leigh, 1989).
Sebagai identitas, keberadaan rencong selalu terlihat dalam lambang-lambang daerah di Aceh. Pemerintah Aceh misalnya, memunculkan gambar rencong kembar dalam logo daerahnya; Pancacita atau lima cita meliputi keadlian, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan dan kesejahteraan. Rencong mewakili semangat kepahlawanan.
Kini, rencong dikenal luas sebagai senjata khas dari Aceh. Kendati bukan lagi sebagai senjata perang, benda pusaka ini menjadi kebanggaan dan penjaga semangat yang selalu disertakan dalam berbagai upacara adat, upacara perkawinan, kesenian, bahkan menjadi cenderamata. []