BerandaNewsKilasProfesor Humam Hamid: Aceh Damai Dua Dekade Tidak seperti Afghanistan, Belum Irlandia...

Profesor Humam Hamid: Aceh Damai Dua Dekade Tidak seperti Afghanistan, Belum Irlandia Utara

Published on

Dua puluh tahun setelah penandatanganan perjanjian damai Helsinki, Aceh masih menjadi laboratorium penting bagi studi perdamaian dunia. Hal itu disampaikan Profesor Ahmad Humam Hamid dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Aceh Diaspora di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Humam Hamid menyatakan bahwa Aceh berada pada posisi “di antara”: tidak jatuh ke kegagalan negara seperti Afghanistan, namun juga belum mencapai kualitas rekonsiliasi dan kesejahteraan seperti Irlandia Utara pasca-Perjanjian Jumat Agung.

“Senjata memang berhenti, tapi tantangan baru segera lahir. Aceh tidak lagi berdarah seperti dua dekade lalu, namun rasa damai itu masih rapuh ketika rakyat belum merasakan sepenuhnya kesejahteraan,” ujar Prof. Humam.

Katanya, pengalaman Aceh dapat dibandingkan dengan Sierra Leone yang berjuang membangun institusi setelah perang, atau Rwanda yang mampu bangkit dari genosida melalui tata kelola yang keras.

Dalam paparannya, Prof. Humam menggarisbawahi sepuluh pelajaran penting dari perjalanan damai Aceh. Pertama, negosiasi membutuhkan mediator yang kredibel. Tanpa Martti Ahtisaari dan Crisis Management Initiative (CMI), sulit membayangkan Helsinki bisa lahir. Kredibilitas pihak ketiga menjadi syarat mutlak keberhasilan.

Kedua, kelelahan perang adalah momentum terbaik. Pemerintah Indonesia dan GAM mencapai titik jenuh, sama-sama tak mampu menang total. Damai menjadi satu-satunya jalan keluar.

Ketiga, kesepakatan politik lebih kuat daripada kemenangan militer. Memberi ruang politik kepada Aceh melalui partai lokal, otonomi khusus, dan bagi hasil sumber daya terbukti lebih efektif daripada sekadar menundukkan dengan senjata.

Keempat, “perdamaian bukan akhir, melainkan awal tantangan baru. Dua dekade terakhir memperlihatkan munculnya problem baru: korupsi, kesenjangan, stagnasi ekonomi, dan merosotnya kualitas pendidikan,” urainya.

Kelima, integrasi eks-kombatan memerlukan strategi jangka panjang. Program reintegrasi awal memang memberi dana dan lahan, tetapi tanpa perencanaan ekonomi berkelanjutan banyak yang terserap dalam patronase politik.

Keenam, penyelesaian pelanggaran HAM tetap menjadi lubang besar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh tak berjalan optimal, dan korban masih menunggu pengakuan serta reparasi.

Ketujuh, lokalitas harus diberi ruang. Partai lokal di Aceh menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia cukup fleksibel menyediakan pengecualian demi menjaga stabilitas.

Kedelapan, peace dividend harus nyata. Bagi rakyat biasa, damai hanya bermakna bila ada perbaikan hidup. Dana Otsus triliunan rupiah gagal menghadirkan itu secara konsisten karena lemahnya tata kelola.

Kesembilan, narasi damai perlu terus dipelihara. Generasi muda Aceh semakin jauh dari kisah Helsinki, lebih akrab dengan kegagalan elite ketimbang nilai perdamaian. “Karena itu, pendidikan, budaya, dan ingatan kolektif harus dijaga,” papar Prof. Humam.

Kesepuluh, Aceh menjadi laboratorium global. Dunia melihat Aceh sebagai contoh sukses negosiasi, berbeda dari Sri Lanka yang memilih solusi militer. Namun “sukses” ini relatif: berhasil menghentikan perang, tetapi belum menyempurnakan keadilan sosial.

Prof. Humam menutup paparannya dengan penekanan: “Perdamaian harus dirawat, bukan sekadar dirayakan. Tanpa keadilan dan tata kelola yang baik, damai hanya akan menjadi jeda, bukan jalan masa depan.”

Diskusi yang digelar Diaspora Aceh menghadirkan sejumlah tokoh penting, di antaranya: Dato’ Seri Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia; Prof. Dr. Sofyan Djalil, akademisi dan mantan Menteri Republik Indonesia; Juha Christensen, negosiator perdamaian Aceh; Abdul Latif, tokoh masyarakat Aceh; Dr. Rizal Sukma, diplomat senior dan analis politik internasional; dan Dr. Fachry Ali, cendekiawan dan pengamat politik.[]

Follow konten ACEHKINI.ID di Google News

Artikel Terbaru

Petani Lansia Ditemukan Tergeletak di Kebun Sawit, Polisi: Korban Punya Riwayat Darah Tinggi

Seorang petani lanjut usia berinisial B (65) ditemukan meninggal dunia di areal perkebunan kelapa...

Suara dari Hutan Adat Singgersing Subulussalam Menggema hingga Jakarta

Sebuah forum membicarakan keberadaan masyarakat dan hutan adat digelar di Jakarta. Dua perwakilan dari...

Mualem Tinjau Abrasi Parah di Lhok Puuk Aceh Utara: 38 Rumah Hilang, Warga Butuh Penanganan Cepat

Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) meninjau langsung kondisi darurat abrasi di Gampong Lhok Puuk,...

Foto: Masjid Raya Pase, Ikon Religi Panton Labu Aceh Utara

Masjid Raya Pase di Panton Labu, Aceh Utara, dikenal sebagai salah satu masjid terbesar...

YJI Aceh Ajak Masyarakat Ikuti Senam Jantung Sehat di CFD

Ketua Dewan Pembina Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Aceh Marlina mengajak masyarakat Aceh khususnya di...

More like this

Petani Lansia Ditemukan Tergeletak di Kebun Sawit, Polisi: Korban Punya Riwayat Darah Tinggi

Seorang petani lanjut usia berinisial B (65) ditemukan meninggal dunia di areal perkebunan kelapa...

Suara dari Hutan Adat Singgersing Subulussalam Menggema hingga Jakarta

Sebuah forum membicarakan keberadaan masyarakat dan hutan adat digelar di Jakarta. Dua perwakilan dari...

Mualem Tinjau Abrasi Parah di Lhok Puuk Aceh Utara: 38 Rumah Hilang, Warga Butuh Penanganan Cepat

Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) meninjau langsung kondisi darurat abrasi di Gampong Lhok Puuk,...