Tragedi Simpang KKA, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, diperingati saban tahun oleh para saksi hidup dan keluarga korban. Setelah 24 tahun, mereka terus menyuarakan keadilan. Negara telah mengakuinya sebagai kasus Pelanggaran HAM berat.
Hari ini, Rabu (3/5/2023) sejumlah saksi dan keluarga korban dalam peristiwa berdarah itu kembali menggelar doa bersama, sekaligus menggelar aksi di Tugu Simpang KKA. Kegiatan dipimpin oleh Murtala, selaku perwakilan keluarga korban.
Menurutnya, tugu Simpang KKA sebagai monumen bersejarah telah dibangun dengan dana pemerintah, untuk mengenang tragedi yang terjadi pada 3 Mei Tahun 1999 lalu atau 24 tahun lalu.
Pada kesempatan tersebut, Murtala dan keluarga korban ikut membacakan surat terbuka untuk Presiden Indonesia, Joko Widodo. Kutipan surat di antaranya meminta Presiden Jokowi untuk segera membentuk suatu mekanisme hukum kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan seadil-adilnya melalui mekanisme Pengadilam HAM Ad-Hoc di Aceh.
“Saya yakin dalam dalam hal ini Bapak Presiden tidak akan menutup mata untuk menyelesaikan seluruh kasus kekerasan yang pernah terjadi di Aceh pasca-penandatanganan MuO Helsinki 15 Agustus 2005. Dalam Perjanjian MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyetakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM,” tulis Murtala.
Dalam surat itu, Murtala menyebut peristiwa Simpang KKA menelan korban 21 orang meninggal dunia dan 146 orang luka-luka yang sampai sekarang belum ada penyelesaian hukum secara adil dan bermartabat.
Aksi mengenang 24 tahun tragedi Simpang KKA berlangsung damai dan dikawal aparat kepolisian.
***
Tragedi Simpang KKA adalah salah satu pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah mendapatkan pengakuan Negara. Hal itu diumumkan oleh Presiden Jokowi bersama 11 kasus pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia, pada 11 Januari 2023 lalu di Istana Negara.
“Saya telah membaca dengan saksama laporan dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk berdasarkan Keppres 17/2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat pada yang pertama,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan saat itu.
Tiga pelanggaran HAM berat di Aceh yang masuk pengakuan Negara adalah; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Peristiwa Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) (1999), dan Peristiwa Jambo Keupok (2003).
Penembakan Massal di Masa Konflik Aceh
Sebuah kejadian penembakan massal pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Tragedi di masa konflik Aceh ini berawal dari isu seorang TNI berpangkat Sersan dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara, diculik orang yang tidak teridentifikasi.
Serdadu itu diduga menyusup dalam ceramah memperingati 1 Muharram di Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Jumat malam, 30 April 1999. TNI mensinyalir acara itu kampanye Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kemudian pasukan TNI dari Den Rudal menyisir pemukiman di sana dan ikut menganiaya warga.
Warga kemudian protes dengan turun ke jalan di Simpang PT. KKA, Krueng Geukueh, Aceh Utara. Senin siang, 3 Mei 1999. Saat aksi massa berlangsung dan memanas, tragedi berdarah ini terjadi. Tentara menyerbu mereka dengan rentetan tembakan berjarak 5-6 meter.
Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Indonesia pada tahun 2000 melakukan penyelidikan terhadap tragedi itu, membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh sesuai Keputusan Presiden Nomor 88/1999. Dalam laporannya, komisi melaporkan sebanyak 39 warga meninggal, 156 mengalami luka tembak dan 10 dinyatakan hilang. Laporan Koalisi NGO HAM Aceh menyebutkan jumlah yang meninggal berbeda: 46 orang, 7 di antaranya anak-anak.
Sementara Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan 23 orang meninggal dunia (terbunuh) dan 30 lainnya mengalami penganiayaan.
Pada 22 Juni 2016, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan terdapat bukti pelanggaran HAM berat pada peristiwa Simpang KKA. Bukti didapat setelah lembaga itu melakukan penyelidikan menyeluruh.
Komnas HAM juga mengajukan hasil penyelidikan kasus ke DPR, dan Kejaksaan Agung, serta mengajukan permohonan dukungan untuk segera ditindaklanjuti, maupun dibentuk Pengadilan HAM Adhoc untuk peristiwa Simpang KKA yang terjadi sebelum terbitnya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. []