Selama Ramadan, penjual makanan dan minuman di Banda Aceh dilarang buka sebelum pukul 16.30 WIB. Tapi di Peunayong, ada pasar khusus melayani nonmuslim. Bukti toleransi di negeri Syariat Islam.
Lorong pasar Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh, riuh rendah. Di sisi jalan yang lebar kurang dari lima meter itu aneka makanan tersuguh pada Sabtu (1/4/2023) pagi. Misal, nasi, lontong, hingga mi goreng.
Di lorong itu pula warung kopi ramai pembeli. Kopi hingga kue tersaji di atas meja. Tak jauh dari warung itu, Aman (60 tahun) dibantu Feni, anaknya, tengah membungkus nasi putih. “Lagi banyak pesanan,” kata Aman, kepada acehkini.
Tak sembarang orang boleh membeli makanan dari pedagang di lorong itu. Lantaran buka di pagi Ramadan, pasar hanya boleh melayani nonmuslim.
Di Kota Banda Aceh yang menerapkan hukum syariat Islam, hanya kawasan pecinan inilah warung kopi dan penjual makanan berdagang pada pagi bulan suci. Namun batasnya sampai pukul sembilan.
Di luar kawasan itu, selama Ramadan, penjual makanan-minuman dilarang buka sebelum pukul 16.30 WIB.
Berjualan sejak pukul lima pagi, Aman lekas tutup menjelang pukul sembilan. “Saya dan anak tidak mau [berjualan lewat pukul sembilan],” ujarnya. Lewat jam tersebut, biasanya, menurut Aman, polisi syariat bakal datang ke sana.
Aman menilai toleransi beragama di Kota Banda Aceh sangat baik selama Ramadan. “Saya berjualan di sini sudah 25 tahun,” kata perempuan kelahiran Lueng Putu, Pidie Jaya, ini.
Dibanding hari biasa, selama Ramadan pembeli nasi di lapak Aman meningkat. “Na raseuki bacut (Ada rezeki sedikit),” tuturnya yang fasih berbahasa Aceh. “Karena di tempat lain tidak buka, nonmuslim semuanya ke sini.”
Di sisi lain lorong, Yuli (44 tahun) belum rehat melayani pembeli yang silih berganti. Dibantu seorang teman, ia menjual nasi guri, nasi sayur, dan lontong. Pukul 8.30 WIB, beberapa pembeli yang singgah disambut kecewa. Karena nasi guri yang dicari duluan ludes pagi itu.
Berdagang di pagi Ramadan bukan soal baru bagi Yuli. Setidaknya ia rutin menemani ibunya dulu sejak sekolah dasar. “Sudah 50 tahun lebih. Dari nenek, mama, dan kami,” katanya sambil membungkus nasi.
Bertahun-tahun, belum muncul masalah berarti. Mereka dan warga muslim sekitar saling menghargai. Yuli dan ayahnya lahir di Peunayong. Asal neneknya dari Seulimeum, Aceh Besar.
Kendati masa berdagang terbatas, Yuli mengatakan selama Ramadan untung yang diraih justru naik. Dulu hanya Rp 500-600 ribu per hari, selama Ramadan Rp 1-1,5 juta. “Dibanding luar Ramadan dua kali lipat,” tuturnya.
Yuli hanya melayani nonmuslim yang sebagian besar etnis Tionghoa. Kalau misalnya tetap ada muslim yang beli? “Tidak kami kasih, karena kan dulu sudah diwanti-wanti,” kata Yuli.
Menjelang pukul sembilan pagi, lorong pasar itu masih ramai. Aroma makanan menghambur ke hidung. Sementara di muka lorong, juru parkir, seorang warga Aceh yang muslim, bertugas mengatur kendaraan pengunjung pasar. “Sudah biasa, tak terganggu,” katanya. []