Di tengah hutan belantara Aceh, markas Alue Puasa menjadi saksi perjuangan Teungku Hasan Tiro dan pasukannya. Sebuah tempat yang hendak didiami seumur hidupnya.
Awal Agustus 47 tahun lalu. Teungku Hasan Tiro dan 70 anggota pasukan gerilyawan berpindah ke markas baru: Alue Puasa, yang terletak di pedalaman hutan Pidie, Aceh. Ini hari-hari setelah perlawanan terhadap Jakarta meletus.
Bagi pendiri Gerakan Aceh Merdeka tersebut, Alue Puasa termasuk markas yang betah buat ditempati berhari-hari saat perjuangan bergerilya. “Seandainya bisa, memang tidak pindah lagi dari sini seumur hidup,” cerita Hasan Tiro.
Namun pasukan Hasan Tiro harus pindah-pindah markas dalam periode waktu tertentu agar tidak terdeteksi oleh musuh. Selama berjuang di hutan Aceh, Hasan Tiro menulis jejak perjalanannya di buku Jum Meurdehka edisi bahasa Aceh atau The Price of Freedom versi bahasa Inggris.
Hari itu 4 Agustus 1977. Di Alue Puasa, Hasan Tiro mendeskripsikan suasana markas barunya ini: air yang jernih dan tebing di sekeliling yang menjadi benteng pertahanan jika diserang musuh.
Dalam bahasa Indonesia, Alue bermakna alur dan puasa sebagaimana makna umumnya. Lantas mengapa namanya alur puasa Teungku Hasan Tiro? “Nama Alue Puasa sudah lebih dulu ditabalkan oleh leluhur kita,” sebut Hasan Tiro.

Kedatangan Hasan Tiro dan anggotanya di Alue Puasa kala itu bertepatan masuk Ramadan. Karena itu, menurutnya, Alue Puasa pun nama yang tepat bagi mereka.
Memang di jenggala manakah letak Alue Puasa ini?
Hasan Tiro penulis yang ulung. Lokasi itu dijelaskan dengan gambaran yang baik. Begini menurutnya: Alue Puasa itu jaraknya sekitar sehari jalan kaki dari Geumpang (timur tenggara), sehari pula dari Tangse (selatan), dan sehari juga dari Blang Malo (barat daya). Dari Alue Puasa pun sehari jalan kaki bila hendak ke Tiro, Truseb, dan Blang Mane.
Hasan Tiro begitu menikmati suasana Alue Puasa, terutama makanan selama di kamp itu: saban hari menyantap daging rusa. Satwa liar ini diperoleh dari padang rumput dekat markas, tempat pasukan Hasan Tiro dengan mudah “meurusa” atau berburu rusa. Apalagi setelah hujan ketika rusa-rusa merumput ke sana.
“Karena itu, selama di Alue Puasa, kami selalu menyantap daging rusa,” kisahnya.
Dalam kalimat tanya, Hasan Tiro lantas menulis: siapa yang mengatakan hidup gerilyawan tidak enak? Pertanyaan yang kemudian lekas dia jawab sendiri di kalimat berikutnya.
“Tapi ini hanya di Alue Puasa.”

Cukup lama Hasan Tiro menetap di markas ini. Lebih dari sebulan. Ditempati sejak 4 Agustus, pasukan meninggalkan tempat itu 18 September. Mereka lantas berpindah ke Alue Kuyuen.
Beberapa agenda penting Hasan Tiro berlangsung di Alue Puasa. Di sini pula, pada 15 Agustus 1977, pertama kalinya ia menggelar sidang kabinet sejak deklarasi Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.
Sidang itu dihadiri para menteri dan petinggi Aceh Merdeka: Muchtar Hasbi, Zaini Abdullah, Husaini Hasan, Asnawi Ali, Zubir Mahmud, Amir Ishak, Teungku Haji Ilyas Leubee, Teungku Usman Lampoh Awe, dan Daud Husin.
Dua menteri absen dalam persamuhan itu: Menteri Perdagangan Amir Rashid Mahmud dan Menteri Negara Urusan Luar Negeri Malik Mahmud. Dua saudara kandung ini sedang di luar negeri.
“Sengaja kami tinggal di tempat berbeda, sebab jika syahid tidak syahid semuanya pada saat bersamaan, supaya ada yang melanjutkan perjuangan ini,” tulis Hasan Tiro yang mangkat pada 3 Juni 2010.[]