Oleh: Ahmad Humam Hamid
Dalam satu dekade terakhir, dunia menyaksikan bagaimana negara bisa ambruk bukan karena perang terbuka, melainkan oleh runtuhnya kepercayaan dan ketidakmampuan pemerintah merespons krisis.
Kasus Haiti dan negara-negara yang tergabung dalam rangkaian Arab Spring adalah contoh yang sempurna. Haiti, negara kecil di Laut Karibia perlahan tenggelam ke dalam kekacauan setelah presiden dibunuh, parlemen lumpuh, dan lembaga keamanan tak lagi berfungsi.
Yang menggantikan negara bukan demokrasi, melainkan geng bersenjata. Kekuasaan tak lagi berada di tangan institusi, tetapi di lorong-lorong gelap yang dikuasai preman.
Polisi berhenti patroli, rumah sakit berhenti beroperasi, sekolah tutup permanen. Warga sipil hidup dalam ketakutan. Kelaparan merebak, dan bantuan kemanusiaan pun tak bisa masuk karena jalan dikuasai kelompok bersenjata. Haiti menjadi negara tanpa negara—sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh kekacauan.
Sementara itu, Arab Spring memberikan narasi berbeda tapi dengan akar yang mirip. Di Tunisia, Mesir, Libya hingga Suriah, unjuk rasa yang dimulai oleh frustrasi ekonomi, korupsi rezim, pengangguran anak muda, dan represi politik berubah menjadi ledakan sosial yang meluluhlantakkan tatanan lama.
Seorang pedagang kecil yang membakar diri di Sidi Bouzid, Tunisia, membakar pula satu kawasan geopolitik selama satu dekade. Rezim-rezim kuat yang selama puluhan tahun tampak tak tergoyahkan, runtuh hanya dalam hitungan minggu. Tapi setelahnya, yang tersisa sering kali bukan kebebasan, melainkan ketidakstabilan.
Mesir berputar kembali ke tangan diktator militer. Libya terpecah antara faksi-faksi. Suriah menjadi medan pembantaian berdarah. Apa yang dimulai sebagai revolusi berubah menjadi spiral kehancuran yang tak mudah dihentikan.
Dua wilayah, dua kisah berbeda—tapi sama-sama menunjukkan bahwa ketika rakyat kehilangan harapan pada negara, dan negara kehilangan legitimasi di mata rakyatnya, arah sejarah bisa berubah liar, tidak linier, dan tak bisa dikendalikan oleh siapa pun
Benar, Indonesia bukan Haiti, apalagi Tunisia, Mesir, Suriah , bahkan Libya Tapi dalam urusan kekacauan, sejarah tidak menyalin — ia merangkai.
Dan dari semua itu, kita bisa belajar satu hal penting. Negara bisa runtuh bukan karena perang atau kudeta, tapi karena ketidakpedulian, pembiaran, dan kemewahan yang dibiarkan berjalan di atas derita rakyat.
Haiti bukan hancur dalam sehari. Ia runtuh dalam diam. Satu per satu institusi kehilangan fungsinya. Parlemen dibekukan. Polisi tak digaji dengan layak. Presiden dibunuh. Rakyat kehilangan arah. Geng mengambil alih, bukan karena mereka kuat, tapi karena negara tidak hadir.
Dan inilah yang patut jadi peringatan. ketika negara kehilangan legitimasi, kekuasaan akan mencari jalan tikus — entah lewat kekerasan, uang, atau propaganda.
Indonesia tentu berbeda. Kita punya pemilu, ormas, pers bebas, media sosial. Tapi jangan cepat berpuas diri. Lihatlah. Kepercayaan publik terhadap DPR anjlok. Polisi dicemooh. Demonstrasi merebak tanpa satu pun aktor tunggal.
Pimpinan nasional pun tampaknya ragu dan nyaris disorientasi untuk benar-benar bercerai dari pendahulunya — berikut semua gerbongnya.
Jangan tunggu segalanya tumbang. Karena badai sosial tak selalu datang dengan sirine. Kadang ia menyelinap lewat harga telur yang melampaui Rp40 ribu per kilogram, lewat upah buruh yang stagnan ditelan inflasi, lewat PHK massal di sektor garmen, tekstil, dan manufaktur, lewat petani yang merugi karena panennya tak terbeli.
Kadang lewat jutaan sarjana baru yang menganggur atau terserap jadi pengemudi ojek daring dengan upah minimum.
Di tengah itu, elite kekuasaan malah memamerkan ketamakan. DPR dengan enteng menerima tunjangan rumah, uang kunjungan dapil, honor rapat, dana aspirasi, dan berbagai judul tunjangan lainnya—seolah hidup di republik paralel yang tidak kenal krisis.
Kita memang bukan Haiti. Tapi bukan berarti kita kebal dari penyakit yang sama. Haiti runtuh bukan hanya karena krisis ekonomi atau politik, tapi karena negara gagal merespons krisis legitimasi secara tepat dan cepat.
Legitimasi itu tak bisa diwariskan, ia harus dibangun setiap hari — lewat keadilan, pelayanan, dan keberpihakan nyata pada rakyat.
Di tengah gelombang demonstrasi yang merentang dari Jakarta hingga Makassar, dari kampus ke jalan raya, dari tukang parkir hingga akademisi, satu hal menjadi jelas. Masyarakat tidak lagi diam. Ini bukan sekadar protes, ini sinyal darurat sosial. Jangan anggap ini gejala temporer.
Ini bukan sekadar badai — ini perfect storm, badai sempurna di mana frustrasi, krisis ekonomi, ketimpangan, dan kehilangan arah politik bertemu dalam satu pusaran.
Kalau elite terus bermain-main dengan politik warisan, kompromi kepentingan, dan menganggap rakyat sebagai penonton yang mudah digiring, maka kita justru sedang meniru Haiti dań negara negara Arab Spring 2010— pelan-pelan, dari dalam.
Negara besar memang tidak tumbang seperti daun. Tapi begitu retaknya menyebar, ia bisa roboh dalam satu hentakan sejarah.
Maka, sekalipun Indonesia bukan Haiti, Mesir, Libya, atyau Suriah, dan semoga tak akan pernah menjadi seperti mereka, extra hati-hati tetap perlu — terutama bagi mereka yang sedang memegang kendali arah kapal ini.
Jangan remehkan badai hanya karena langit tampak cerah hari ini. []
- Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala



