Sore Rabu, 28 Maret 2018. Saya bertandang ke rumah Abu Razak di Lamgugop, Kota Banda Aceh.
Saya tak tahu pasti letaknya. Berkeliling. Bermodal alamat yang Abu Razak berikan.
Saya tak kunjung tiba. Hari hampir gelap. Beberapa lorong sudah saya lintasi. Di perjalanan itu, saya menerima telepon darinya. “Ho katroh?” tanyanya. Sudah sampai di mana?
Kami memang sudah berjanji bertemu untuk wawancara. Saya hendak menulis profil Partai Aceh menjelang Pemilu 2019 untuk sebuah media nasional.
Lewat sambungan telepon, ia kembali memberi petunjuk. Menjelaskan bangunan di sekitar jalan menuju rumahnya, yang belakangan saya tahu di Jalan Kenari.
Akhirnya, saya tiba. Di teras, ia sudah menanti. Peci hitam di kepalanya. Kemeja merah membalut tubuhnya. Sebuah jam membelit lengan kirinya.
Kami bersalaman. Duduk. Berbincang. Namun, belum lama mengobrol, azan Magrib berkumandang. “Salat dulu,” katanya.
Ia bangkit. Saya mengikutinya. Kami berjalan menuju balai di seberang lorong. Persis depan rumahnya. Berwudu. Bersiap menunaikan salat Magrib.
Abu Razak berdiri di depan. Menjadi imam. Saya dan beberapa orang lainnya makmum di belakangnya. Seusai salat, ia bersalawat. Berdoa.
Lalu, kami kembali berbincang. Di balai itu.

Komandan dari Teupin Raya
Nama aslinya Kamaruddin Abu Bakar. Tapi, semua orang mengenalnya Abu Razak. Ia lahir di Teupin Raya, Pidie, pada 1 Mei 1967.
Di kalangan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ia sosok berpengaruh. Setelah menamatkan pendidikan militer di Libya, ia kembali ke Aceh bersama rekan-rekannya.
Ia mengemban jabatan mentereng. Menjadi Komandan Operasi GAM Komando Pusat di Tiro. Kemudian, Wakil Panglima GAM.
Tapi, perang bukan segalanya. Ia turun gunung setelah Aceh damai. GAM dan Republik Indonesia sepakat mengakhiri perang sejak 1976 lewat perundingan. 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kelak dikenal MoU Helsinki.
Setelah damai, ia memilih jalan seperti umumnya petinggi GAM: menempuh jalur politik mewujudkan kepentingan Aceh.
Dan, Abu Razak termasuk yang gundah karena itu. Nyaris dua dekade, damai yang dibayar mahal dengan pemusnahan senjata GAM, belumlah ideal.
Butir-butir kesepakatan belum selesai utuh. Abu Razak bilang salah satunya: lahan untuk mantan kombatan.

Di sisi lain, dana otonomi khusus berkurang sejak 2023. Menjadi satu persen. Dan pada 2027 akan berakhir. Abu Razak berharap dana itu dilanjutkan.
“Dulu komitmen pusat jangan minta merdeka, lain minta apa saja. Hari ini coba tunjukkan,” kata Abu Razak pada peringatan 19 tahun damai di Banda Aceh, 15 Agustus 2024.
Dia mengajak semua pihak memperjuangkan butir-butir MoU Helsinki. “Nyoe bek abeh mate sidroe-droe ka hana troh bak cita-cita,” katanya.
Bermakna, jangan sampai satu per satu mantan kombatan meninggal tapi tidak juga sampai pada harapan yang dicita-citakan.
“Papua datang ke kami, bagaimana Aceh hari ini, ya baik. Pattani juga datang, bagaimana perdamaian Aceh, baik.
Tapi dalam perjalanan, banyak belum selesai,” tutur Abu Razak.

Sejarah Partai Aceh Menurut Abu Razak
Malam itu, Abu Razak bicara panjang. Ia menjelaskan detail bagaimana Partai Aceh lahir setelah MoU Helsinki.
GAM tak serta-merta bubar meski senjata dipotong. Ribuan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA) beralih dalam Komite Peralihan Aceh (KPA). Mereka kembali ke masyarakat secara bertahap.
Kesepakatan Helsinki memberi Aceh hak istimewa yang luas. Termasuk membentuk partai politik lokal. Yang tak dimiliki daerah lain di Indonesia.
“Kami membentuk partai politik lokal sebagai kendaraan politik meneruskan perjuangan mencari keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat Aceh,” ujarnya.

Pada 2007, GAM mendirikan Partai GAM. Nama ini tanpa kepanjangan resmi. Namun, karena terlalu menyerupai GAM bersenjata, pemerintah menolak.
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 pun terbit. Aturan ini melarang simbol-simbol separatisme.
GAM lalu mengganti nama partai menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Tetap ditolak. Unsur “GAM” dianggap bermasalah.
Setelah pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, nama akhirnya berubah menjadi Partai Aceh.
Pilihan ini diterima oleh mantan kombatan. Partai Aceh pun sah berdiri sebagai partai politik lokal.
Namun, menurut Abu Razak, Partai Aceh bukan milik mantan kombatan.
“Kita milik bersama seluruh rakyat Aceh, bukan hanya milik kombatan. Kita terbuka untuk umum,” katanya.
Selain mantan kombatan, Partai Aceh juga diisi oleh mantan aktivis mahasiswa, ulama, bahkan orang non-Aceh.
“Hanya 40 persen mantan kombatan di Partai Aceh. Yang lain adalah masyarakat biasa,” tambahnya.
***
Setelah pertemuan malam itu, saya tidak lagi bertemu Abu Razak secara khusus. Kecuali ketika meliput kegiatan olahraga, Partai Aceh, atau momen peringatan damai. Beberapa kali saya mewawancarainya melalui telepon.
Namun pada Rabu dan Maret yang berbeda, saya mendengar kabar duka soal Abu Razak. Ia berpulang di Makkah, saat menjalankan ibadah umrah, pada Rabu 19 Maret 2025.
Kepergiannya meninggalkan luka mendalam: bagi keluarga hingga masyarakat Aceh.
Sebagai Sekretaris Jenderal Partai Aceh. Ketua KONI Aceh. Pelaku sejarah yang terus merawat perdamaian di Tanah Rencong.
Dan, Abu Razak pergi.
Di bulan suci.
Di tanah suci.[]