“Kami sama-sama pendiri UNPO,” kata Edita Tahiri setelah ziarah ke makam deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Hasan Tiro di Indrapuri, Aceh Besar, 2019 silam.
Edita pemimpin kemerdekaan Kosovo sejak dulu. Setelah Kosovo merdeka pada 17 Februari 2008, Edita pernah jadi Wakil Perdana Menteri Kosovo dan Menteri Dialog di negara bekas Yugoslavia itu.
Sementara perjuangan bersenjata GAM berakhir setelah meneken perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki, 15 Agustus 2005. Aceh memperoleh hak otonomi yang lebih luas.
Bagi Edita Tahiri, Teungku Hasan Tiro teman sekaligus guru. Mereka kerap berdiskusi di berbagai pertemuan untuk kemerdekaan di daerah masing-masing dulunya.
Edita Tahiri dan Hasan Tiro terlibat dalam pendirian The Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) atau Organisasi Bangsa-Bangsa dan Masyarakat yang Tidak Terwakili. Edita mewakili Kosovo dan Hasan Tiro mewakili Aceh.
“Kami menjadi bagian dalam pergerakan yang sama dalam organisasi UNPO,” katanya kepada acehkini dalam wawancara khusus saat itu.
“Di sana kami melakukan banyak diskusi, interaksi dan saling berbagi pengalaman, berbagi ide dan strategi bagaimana pergerakan ini, sehingga orang-orang kami bisa lebih dekat dengan kebebasan.”
UNPO secara resmi didirikan pada Februari 1991 di Den Haag, Belanda, oleh perwakilan dari Aceh, Kosovo, Aborigin Australia, Armenia, dan beberapa perwakilan yang lain.
Sejumlah bekas anggota UNPO yang merdeka kemudian bergabung dalam PBB.
Menurut situs webnya, UNPO didirikan untuk memberdayakan suara masyarakat yang tidak terwakili dan terpinggirkan di seluruh dunia dan untuk melindungi hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Ada beberapa poin kesepakatan yang harus diikuti anggota UNPO. Antara lain: hak yang sama bagi semua orang untuk menentukan nasib sendiri, kepatuhan terhadap standar hak asasi manusia yang diterima secara internasional, ketaatan pada prinsip pluralisme demokrasi dan penolakan terhadap intoleransi, promosi nirkekerasan dan penolakan terorisme dan kekerasan sebagai instrumen kebijakan, dan perlindungan lingkungan alam.
Masyarakat yang terwakili dalam keanggotaan UNPO dipersatukan oleh satu kondisi yang sama: mereka tidak mendapatkan keterwakilan yang setara dalam lembaga-lembaga pemerintahan nasional atau internasional.
Akibatnya, kesempatan mereka untuk berpartisipasi di tingkat nasional atau internasional menjadi terbatas, dan mereka berjuang untuk sepenuhnya mewujudkan hak-hak mereka atas partisipasi sipil dan politik serta mengendalikan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
“Dalam banyak kasus, mereka menjadi sasaran kekerasan dan penindasan yang paling buruk,” tulis UNPO.[]