Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menggelar nonton bareng film dokumenter ‘Demi Sawit’ sekaligus diskusi di kantornya, Sabtu malam (29/7/2023). Film tersebut memaparkan kerusakan lingkungan di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil.
Acara dihadiri Koordinator Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Manager GIS HAkA, dan Penyidik Balai Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera, mahasiswa dan para penggiat lingkungan di Aceh lainnya.
Koordinator FJL Aceh, Munandar mengatakan proses produksi film dan pengambilan gambar menemukan banyak fakta terkait deforestasi di SM Rawa Singkil khususnya yang ada di Desa Ie Meudama, Trumon, Aceh Selatan. Hal itu juga diungkapkan dalam film bahwa perambahan di hutan konservasi tersebut dibekengi oleh banyak pihak.
“Saat produksi film ini, kami tidak sengaja bertemu langsung dengan seorang perambah yang selama ini diketahui sebagai pengusaha dan sudah memasok hasil kelapa sawitnya ke perusahaan global. Beliau menyampaikan bahwa aparat desa, pejabat, dan penegak hukum juga ikut merambah. Itu juga bisa dilihat dalam film,” Kata Nandar.
Di samping itu, lahan merah biasa disebutkan masyarakat untuk menyebutkan SM Rawa Singkil ini juga diperjualbelikan oleh masyarakat setempat. Karena itu, Nandar mengatakan tidak mudah bagi orang luar terutama wartawan melakukan liputan ke hutan konservasi itu karena ada oknum yang memanfaatkan masyarakat sebagai tameng.
“Ketika kami masuk itu tidak mudah, masyarakat curiga terutama saat membawa kamera. Posisi kami bisa saja terancam jika ketahuan sedang melakukan liputan untuk membongkar pelaku perambahan. Tetapi, kami tetap memberanikan diri masuk untuk mendapatkan fakta,” katanya.
Manager Geographic Information System Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Lukmanul Hakim, menyampaikan angka kehilangan hutan di SM Rawa Singkil meningkat hampir tiap tahunnya. Data terbaru dari Januari-Juni 2023 jumlahnya sudah mencapai 372 hektare meningkat mencapai 57 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Dalam kurun lima tahun terakhir, SM Rawa SIngkil telah kehilangan tutupan hutan 1.324 hektare atau setara dengan 140 kali luas Blang Padang. Rumah terakhir bagi orang utan Sumatera itu terus dirambah dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Jika dilihat perbandingan di tahun 2022 selama satu tahun penuh sekitar 716 Ha kehilangan tutupan hutan di SM Rawa Singkil. Jadi, enam bulan pertama di tahun 2023 itu dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya meningkat deforestasi 57 persen, dan ini masih menjadi alarm untuk kita karena ada peningkatan di periode yang sama,” kata Lukman dalam diskusi.
Koordinator Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Rahmat, mengatakan BKSDA Aceh selama ini tidak berdiam diri terhadap deforestasi yang terjadi di SM Rawa Singkil. Pihaknya juga sudah beberapa kali menangkap pelaku perambahan agar dapat diberikan penegakan hukum atas perbuatannya.
“Dari tahun 2015-2022 penegakan hukum sudah lima kali kita berikan yang terakhir Oktober tahun lalu, kami tangkap empat orang di Desa Cot Bayu, Trumon sudah vonis hukumannya 1 tahun 2 bulan denda Rp250 juta dan subsider 3 bulan,” katanya.
Di sisi lain, Rahmat menyampaikan bahwa BKSDA juga terkendala kekurangan personel yang bertugas mengawas dan berpatroli di SM Rawa Singkil yang luasnya mencapai 82.188 hektare dan secara administratif tersebar di tiga wilayah yakni Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.
Selain itu, tantangan lainnya juga terhadap tapal batas yang masih belum selesai di Aceh Selatan sepanjang 73 km dan Subulusalam 30 km. Kemudian, juga terdapat penolakan dari masyarakat terhadap batas kawasan SM Rawa Singkil.
Kata dia, masyarakat setempat meminta batas SM Rawa Singkil 5 km dari jalan aspal. “Belum ada tata batas Ini menjadi permasalahan, lalu masyarakat juga menginginkan pembukaan lahan 5 kilometer dari pinggir kawasan, jika 5 kilometer maka habis kawasannya,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Salihin, mengatakan kerusakan di hutan konservasi SM Rawa Singkil tidak hanya dari kegiatan ilegal tapi juga kegiatan legal dan upaya baru lainnya seperti rencana dari Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan yang ingin mengambil sekitar 9.371 ha lahan di SM Rawa Singkil menjadi area penggunaa lain (apl) untuk kombatan GAM dan korban konflik.
“Ada tiga alasan perambahan di sana kalau kita lihat dalam film tadi, pertama memang benar-benar tidak tahu, kemudian pura-pura tidak tahu, dan terpaksa karena warga tidak memiliki lahan pertanian sehingga melihat orang lain bisa kenapa mereka tidak bisa,” katanya.
Akan tetapi semua alasan itu tidak bisa dibenarkan dan harus ada tindakan yang cukup kuat dari pemerintah yakni BKSDA dan Balai Besar Gakkum Wilayah Sumatra karena memiliki kewenangan yang cukup untuk menghentikan kegiatan itu dan segera bertindak.
Penyidik Balai Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera, Herwin Hermawan, yang turut hadir dalam diskusi ini mengatakan bahwa untuk menyelesaikan persoalan di SM Rawa Singkil tidak hanya dapat diselesaikan dengan memberikan penegakan hukum saja, tetapi perlu dicari akar persoalan agar dapat ditangani sesuai persoalan yang ada di wilayah setempat.
“Kita ingin menyelesaikan permasalahan bukan berarti kita melakukan tindakan penegakan hukum tetapi kemudian ada lagi. Kita ingin menyelesaikan persoalan bukan hanya tugas. Kita coba mengidentifikasi dengan film ini, kita mencoba membangun edukasi dan pemahaman dengan wilayah-wilayah tadi,” katanya. []