Atlet dan ofisial Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024 yang sangat terkesan dengan toleransi dan keramahtamahan masyarakat Aceh saat kedatangannya di provinsi ujung barat Indonesia. Masyarakat Aceh dinilai sangat menghargai tamu, termasuk mereka yang nonmuslim.
Marthen Bana, Wakil Ketua Bidang Humas dan Media KONI Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan, dirinya baru pertama kali datang ke Aceh. Sebelumnya, Marthen mengaku, jika bisa ia lebih memilih ke Medan daripada ke Aceh karena alasan takut berbuat salah di Aceh yang menerapkan hukum Syariat Islam.
Namun, begitu mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, ia mendapat kesan positif. “Begitu tiba di Aceh, saat keluar dari ruang kedatangan, saya dihampiri seorang bapak, yang rupanya sopir taksi. Beliau menanyakan saya dari mana, mau kemana dengan begitu ramah. Lalu begitu tiba di penginapan, ada koran yang judulnya Pemulia Jamee yang artinya saatnya memuliakan tamu. Dari sini saya teringat ketika di bandara tadi, bahwa yang saya rasakan itu adalah memuliakan tamu,” ungkap Marthen, Rabu (18/9/2024).
Setelah beberapa hari di Aceh, lanjut Marthen, ketika berinteraksi dengan warga Aceh, budaya Pemulia Jamee itu benar-benar terasa. Masyarakat Aceh juga begitu toleran terhadap tamu yang datang di Aceh. “Terima kasih Aceh, saya benar-benar betah berada di Aceh,” ucap Marthen.
I Nyoman Bagus Bhaskara Daneswara, atlet Dayung Provinsi Bali mengaku awalnya canggung dan takut untuk berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Ia takut berbuat salah karena adanya penerapan Syariat Islam di Aceh.
Namun, seiring berjalannya waktu, Bhaskara merasa bahwa orang-orang Aceh itu asyik dan terbuka, dan ia pun terdorong menjadi terbuka.
“Waktu saya jalan-jalan di lapangan Blang Padang, saya bertemu orang-orang, kita ngobrol, wah asyik. Warga Aceh terbuka menerima kami, dan saya pun akhirnya nyaman, dan merasa kayak di rumah saja. Jadi untuk toleransinya wow, luar biasa,” kata Bhaskara.
Kesan senada dirasakan Marinus Beanal, atlet Rugby Papua Tengah. “Yang saya tahu di Aceh itu menerapkan Syariah, jadi saya berpikir nanti sampai di sana saya bagaimana, jangan sampai kita buat salah,” kata Marinus.
Setelah dua tiga hari di Aceh, Marinus merasakan hal yang lain. Pikirannya tentang Aceh sebelum tiba pupus setelah ia berinteraksi dengan warga Aceh. “Puji Tuhan, ketika tinggalkan Papua ke Aceh, kita tinggalkan keluarga, tapi ketika di Aceh kita berinteraksi dengan orang hotel, orang-orang di sekitar tempat tinggal kami, saya merasakan bahwa kita adalah keluarga,” ujarnya.
Lain lagi cerita Cesar Avianto. Wakil Ketua Umum (Waketum) KONI Papua Tengah itu mengaku punya kesan tersendiri tentang Aceh. Menurutnya, ketika Papua menjadi tuan rumah PON XX pada tahun 2021, ia banyak berinteraksi dan membantu kontingen Aceh yang datang ke Papua. Sebaliknya begitu kontingen Papua Tengah tiba di Aceh, mereka mendapatkan pelayanan yang begitu baik dari tuan rumah.
“Bagi saya, meskipun Aceh ini menerapkan Syariat Islam, pandangan saya, Aceh ini sudah sangat siap menjadi tuan rumah. Saya ikuti di beberapa venue, atlet-atlet putri diberi kebebasan untuk bisa bertanding sesuai dengan apa yang mereka mau, tidak terikat dengan aturan-aturan yang ada. Itu bagian dari bentuk toleransi yang diberikan oleh Aceh sebagai tuan rumah,” ungkap Cesar.
Cesar juga menyoroti kehidupan sosial masyarakat Aceh yang begitu terbuka kepada kontingen yang ada. “Saya terkesan dengan kehidupan sosial masyarakat Aceh, dimana dengan penerapan Syariat Islam tapi Aceh terbuka untuk semua suku bangsa dan agama. Itu yang saya dapatkan di Aceh,” ujarnya.
Menurut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh, Azhari, Aceh tidak hanya dikenal dengan Serambi Makkah yang pelaksanaan syariat Islam tentu sangat kental bagi masyarakat, namun masyarakat Aceh juga bersikap sangat toleran ketika ada tamu yang datang ke Aceh.
“Selain muslim atau saudara-saudara non-muslim, itu tetap dihargai dan dihormati. Dalam perhelatan PON ke-21 ini berbagai provinsi hadir, dari seluruh Indonesia, tentu dengan ragam budaya, sikap, agama hadir di Aceh. Jadi masyarakat Aceh sangat memahami itu. Masyarakat Aceh sangat menerima tamu dengan berbagai etnis yang datang di Aceh,” ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa masyarakat Aceh memiliki tradisi memuliakan tamu, yang telah berlangsung sejak lama. Aceh dikenal sebagai Serambi Makkah, dengan pelaksanaan syariat Islam yang sangat kuat. Namun, masyarakat Aceh juga sangat menghargai tamu, termasuk yang nonmuslim.
“Mungkin saudara-saudara, teman-teman, sebelum ke Aceh menganggap kondisi Aceh bagaimana? Tetapi dapat dilihat, setelah tiba di Aceh bagaimana kondisinya, baik di tempat-tempat penginapan, di arena pertandingan, di venue-venue PON yang telah ditetapkan, tentu masyarakat sangat terbuka, sangat ramah dan welcome,” jelasnya.
Azhari mengungkapkan bahwa tamu dari berbagai latar belakang budaya dan agama merasa nyaman selama berada di Aceh. Tidak ada paksaan bagi nonmuslim untuk mengikuti aturan berpakaian yang diterapkan dalam syariat, namun tetap diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat.
“Jadi toleransi itu bukan hanya dari segi kehidupan beragama, tapi juga kita toleransi menghargai akan budaya, sikap, perilaku masing-masing. Intinya saling menghargai dan menghormati,” ujarnya.
“Kita berharap dengan event PON ke-21 ini kita bisa saling menukar informasi, menjalin silaturahim dan berdiskusi, menyampaikan informasi-informasi dari daerah masing-masing sehingga dengan event ini bisa meningkatkan kinerja kita, persahabatan, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah dan juga memahami budaya di masing-masing daerah,” pungkas Azhari.[]