Tragedi Jambo Keupok di Aceh Selatan masuk dalam salah satu pelanggaran HAM berat dari 12 kasus yang diakui Negara, sesuai pernyataan Presiden Indonesia Joko Widodo pada 11 Januari 2023 lalu. Sebuah tragedi pembantaian warga sipil olah tentara semasa konflik masih mendera Aceh, 20 tahun silam.
Teriakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pecah di pagi hari, 17 Mei 2003 pecah di kampung pedalaman Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Mereka memerintahkan semua warga keluar dari rumahnya masing-masing. Penduduk disuruh berkumpul di sebuah rumah.
Tentara bermaksud mencari keberadaan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Siapa pun yang menjawab tidak tahu, kena pukulan, tendangan, dan tusukan dengan ujung senjata. Selanjutnya, 12 pria dipisahkan dari penduduk lain, dikumpulkan di depan rumah Suma (warga). Posisinya berbaris mengarah ke rumah Daud. Dan, tentara menembak kaki mereka, lalu membawanya ke rumah Daud.
Dalam rumah itu, 12 pria tersebut dibakar hidup-hidup. Tiada seorang pun selamat.
Adegan ini bukanlah cuplikan film. Ini kejadian nyata yang kini dikenal peristiwa Jambo Keupok. Pembantaian rakyat sipil ini terjadi dua hari menjelang Darurat Militer mulai diterapkan di Aceh sejak 19 Mei 2003. Konflik Aceh meletus dari 4 Desember 1976 dan berakhir damai pada 15 Agustus 2005.
Peristiwa Jambo Keupok dipicu informasi dari cuak atau informan ke anggota TNI bahwa pada 2001-2002 desa itu jadi basis GAM. Aparat menindaklanjuti kabar itu dengan menyisir kampung.
Dalam pembantaian itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia menyatakan 12 penduduk meninggal akibat dibakar hidup-hidup dan 4 orang meninggal karena ditembak.
Data itu dimuat dalam Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Jambo Keupok Aceh, dirilis 14 Maret 2016.
Komnas HAM menyebutkan korban meninggal dibakar hidup-hidup adalah Nurdin–meninggal dalam kondisi terbakar–ada lubang di kepala dan punggung sebelah kanan–,Asri, Saili, Dullah Adat, Amiruddin,Tarmizi, Muktar, Usman, Abdul Rahim, Mukminin, Suandi, dan Bustami.
Adapun empat orang meninggal ditembak, yaitu Khalidi di bagian punggung, perut, dan kepala; Kasturi meninggal di samping sekolah dasar; Burahman ditembak oleh 15 orang TNI di kepala, dada kiri, paha kiri, dan betis kanan di jalan depan musala sehingga meninggal; dan Budiman ditembak hingga meninggal.
“Para korban yang dimaksud merupakan penduduk sipil berjumlah 16 orang yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota atau simpatisan GAM yang berada di Desa Jambo Keupok tanpa bukti yang sah,” tulis Komnas HAM.
Komnas HAM menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Tiga bentuk perbuatan dan pola kejahatan dalam kasus itu adalah pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan.
14 Maret 2016, Komnas HAM menyerahkan berkas Jambo Keupok ke Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk mengusut kasus ini. Komnas HAM menyebut beberapa pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kasus itu, antara lain Panglima TNI 2003, Dandim 0107 Aceh Selatan 2003, Danramil Bakongan 2003, Komandan Pemukul Reaksi Cepat dari Batalyon 502 Linud Divisi II Kostrad, Komandan Satuan Gabungan Intelijen, Pimpinan Para Komando, Bupati Aceh Selatan 2003, Kapolsek Bakongan 2003, dan seorang cuak.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebutkan berkas Jambo Keupok sudah dikembalikan ke penyelidik atau Komnas HAM. Berkas disebut belum lengkap.
Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk berdasarkan Keppres 17/2022 kemudian mengangkat kembali kasus tersebut. Negara kemudian mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di Jambo Keupok, bersama 11 kasus lainnya di Indonesia.
“Saya telah membaca dengan saksama laporan dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk berdasarkan Keppres 17/2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat pada yang pertama,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1).
Tiga pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah mendapat pengakuan Negara adalah; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Peristiwa Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) (1999), dan Peristiwa Jambo Keupok (2003). []
Note: Sebagian materi artikel pernah tayang sebelumnya di kumparan.com/acehkini