Di lembah pegunungan yang dingin, warga Tangse hidup dengan hangat. Sungai, durian, hingga keureulieng melekat dengan kawasan terpencil di Pidie, Aceh, ini.
Dari titik ini akhirnya saya menemukan makna sebuah lema: indah. Di ketinggian nyaris menyentuh 500 meter dari permukaan laut, terlihat sungai jernih itu meliuk-liuk di belakang pertokoan Keude Tangse hingga mengalir di bawah jembatan.
Petak-petak sawah yang luas terhampar di bantarannya. Di antara itu terselip kebun-kebun yang kontras karena hijaunya pepohonan. Bagai lukisan: jauh di ujung sana, di semua penjuru mata angin, terlihat rangkaian pegunungan itu mengelilingi ibu kota Kecamatan Tangse yang tenang di pedalaman Kabupaten Pidie, Aceh.
Titik ini bukan puncak gunung, tapi tanah rata seluas lapangan voli di Gampong Baro, persis di tepi aspal Tangse-Geumpang.
Sayangnya, saya menapaki lokasi ini saat jarum jam menunjuk tengah hari pada pekan ketiga Juni 2024. Tempat itu masih lengang. Belakangan saya tahu bahwa tatkala matahari nyaris tenggelam ke peraduan, di situ akan tertata meja—kursi. Dan mobil penjual kopi setia menanti pembeli.
Bersama Anandabhuwana, seorang backpacker dari Jakarta, dari sana saya bergeser ke arah Geumpang. Meski di pedalaman, jalanan di sini cukup bagus. Aspal hitam sangat jarang rusak, kecuali di titik-titik yang kerap longsor. Sisanya sangat mulus, apalagi bagi kami yang berkendara sepeda motor.
Tak perlu taajul saat melintasi jalanan ini sebab pemandangan yang tersaji cukup sayang jika dilewatkan. Lihat bagaimana jernihnya aliran sungai deras berbatu cadas di kiri dan pegunungan rimbun yang hijau di kanan. Sungguh memukau. Keindahan manakah yang kalian dustakan?
***
Keureulieng Asam Keueng itu pun menggoda. Saya tiba di warung dekat jembatan Cot Kuala ini saat jam makan siang sudah agak lewat: menjelang sore. Namun, kami tak mengisi warung yang kosong, karena beberapa meja masih terisi pengunjung, terutama tempat duduk di pinggir sungai itu.
Keureulieng adalah ikan khas kawasan pegunungan yang hidup di aliran sungai berair deras. Di Pidie, masakan ikan dengan nama lain jurung ini sangat mudah ditemui di warung makan sekitar Tangse, Mane, dan Geumpang. Ada dua olahan masakan khas keureulieng: asam keueng (pedas) dan goreng.
Di warung itu, saya mengambil sendiri nasi putihnya, kemudian kuah keureulieng yang telah disajikan dalam piring-piring kecil yang dijual Rp25 ribu per porsi. Anandabhuwana mengambil olahan keureulieng goreng. “Enak,” katanya setelah mencicipinya.
Tidak bisa saya detailkan cita rasanya, tapi yang jelas, daging keureulieng itu cukup lembut. Tidak perlu dikunyah lama-lama. Rasa asam dan pedas kuahnya tercampur sempurna. Dalam hitungan menit, piring saya pun kelompang.
Setelah makan, kami mengobrol dan tidak terlalu sibuk menatap layar ponsel karena di sini titik blank spot, alias tidak punya sinyal. Jangankan berinternet, sekadar telepon saja mustahil dilakukan. Di sini ponsel dipakai hanya untuk memotret atau merekam video.
Salah satu objek yang kerap dipotret adalah jembatan Cot Kuala, berjarak belasan meter dari warung, yang kini terbengkalai dan berkarat. Tak jauh dari sana, tepat di sebelahnya, jembatan rangka baja lain kini digunakan sebagai penghubung Tangse ke Mane dan Geumpang.
Dalam situs web KITLV, saya menemukan foto milik penjajah Belanda menampilkan jembatan di Tangse. Ketika diamati, struktur jembatan itu sangat mirip dengan jembatan lama dekat warung itu. Kontur alam sekitarnya pun tak beda jauh, misalnya pegunungan dan aliran sungainya. Apakah itu jembatan yang sama peninggalan Belanda? Saya belum menemukan jawabannya.
Namun yang pasti, Tangse punya peran penting dalam episode perjuangan Aceh melawan penjajah Belanda. Di Alue Bhot, Tangse, Teungku Chik Maat di Tiro syahid pada 3 Desember 1911 dan dimakamkan di Gampong Pulo Mesjid, Tangse.
Almanak kepergian sosok yang disebut Wali Neugara itu digunakan trahnya, Teungku Hasan Tiro, untuk memulai perang di bawah Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.
“Belanda menganggap 4 Desember sebagai hari pertama berakhirnya Neugara Atjeh Meurdehka yang berdaulat dan hari kemenangan Belanda atas Neugara Kerajaan Atjeh,” tulis Hasan Tiro dalam diarinya.
Itu sebabnya, saat awal-awal perjuangan GAM, setelah deklarasi di Gunung Tjokkan Tiro, Hasan Tiro bergerilya hingga menjelajahi hutan Tangse berhari-hari, seperti yang ia tulis detail dalam buku hariannya.
Di Tangse pula, Hasan Tiro kembali menemukan kemurahan hati warganya demi perjuangan Aceh. Misal kisahnya bertemu Zakaria Saman, pengusaha Blang Malo, yang datang membawa uang hasil sumbangan masyarakat.
Kelak, Zakaria bergabung GAM dan menjadi Menteri Pertahanan. Setelah damai hadir di Aceh, Apa Karya, sapaan akrabnya, yang bertahun-tahun hidup di luar negeri, memilih pulang ke Aceh dan menghabiskan masa tuanya di Keumala.
***
Selesai di Cot Kuala, saya balik arah turun ke arah Tangse, tidak lagi melanjutkan ke arah Geumpang. Sialnya, deru sepeda motor justru berbalapan dengan awan mendung yang bergerak cepat. Sebelum bertemu rumah-rumah penduduk, tepat di jalanan yang persis melintasi hutan, hujan turun dengan lekas.
Untungnya, mandi hujan hanya sebentar, karena saya akhirnya meriung bersama warga lain yang berteduh di pondok petani. Hujan belum terlalu deras memang. Dari sini, kami melihat ke sudut barat, langit cukup cerah. Hujan bisa turun kapan saja dan bersifat lokal di Tangse.
Perjalanan berlanjut meski rinai belum berhenti sepenuhnya. Rintik-rintik hujan pun hilang saat sepeda motor mengalahkan gerak awan gelap.
Sebelum tiba di air terjun Tangse yang terkenal itu, saya menepi di pinggir Krueng Meuriam. Parkir motor di bawah lindungan pohon besar, saya dan Anandabhuwana turun ke bawah. Suara air sungai sudah terdengar dari sini. Aliran airnya terpaut beberapa meter.
Jalan turun ke sungai itu juga jalur petani menyeberangi sungai. Karena itu, di sana ada dua utas tali yang disulap menjadi jembatan. Bentuknya: satu tali di atas dan satu lagi di bawah, keduanya berjarak sekitar satu meter. Ujung tali diikat di pohon besar di tiap bantaran sungai.
Antara tali atas dan bawah diikat beberapa batang bambu. Bukan penyangga, bambu yang kakinya menggantung tak menyentuh bumi itu justru berfungsi meredam goyangan.
Kami mencoba menaiki jembatan itu, tapi hanya berani beberapa meter. Selebihnya guncangan sudah kian terasa. Penakut, memang. Apalagi dibanding petani Tangse yang hampir saban hari memakainya untuk membawa pulang hasil kebun.
Ketika menyeberang, mereka hanya berpegangan dengan satu tangan. Di atas kepala mereka terangkut hasil kebun. Mereka lihai dalam menjaga keseimbangan. Ancaman terbesarnya kalau celaka: dasar sungai berair deras dipenuhi batu-batu besar menanti.
Turun ke sungai, saya bergegas mencelupkan diri ke aliran air yang segar dan dingin. Langit kini biru cerah. Anand menerbangkan drone untuk merekam pemandangan ini dari udara. Saya melambai-lambai drone sebelum ia mundur dan menjauh ke langit.
Beberapa menit kemudian, langit yang cerah mendadak gelap. Awan mendung menutup sinar matahari. Dan dalam sekejap, hujan turun dengan derasnya. Anand tampak panik. Drone masih di udara, dan masih proses turun dengan perlahan. Remot dan ponsel yang terhubung di sana mulai basah. Bagaimana dengan drone di atas?
Drone turun. Sedikit basah. Anand bergegas menyelipkannya dalam tas tahan air, dan menyimpannya di tempat yang aman dari hujan. Kami melanjutkan mandi sungai di tengah guyuran hujan deras. Saya waspada dan sesekali memantau ke arah hulu. Khawatirnya: aliran air tiba-tiba naik, sesuatu yang umum di sungai kawasan pegunungan.
***
Setelah hujan berhenti, sosok laki-laki itu muncul dari arah hilir. Ia menyusuri sungai sambil melempar jaring untuk menangkap ikan keureulieng. Ia mendapatkan hasilnya setelah beberapa kali lemparan. Besar ikannya seukuran telapak tangan.
Dari seberang sungai, kami melihat rautnya tersenyum. Dilepas dari jaring, ikan itu segera dimasukkan dalam tas yang disangkut di bahu kirinya. Ia melanjutkan lagi lemparan berikutnya sambil terus menyusuri sungai, makin naik ke hulu, dan akhirnya hilang di antara batu-batu besar di kelokan sungai.
Sebelum gelap merayap turun dan menjejak di tanah, kami meninggalkan sungai Tangse. Belum ingin berpisah dengan tanah yang subur ini, kami singgah di warung kopi yang ramai dekat jembatan di pusat kecamatan. Kami menikmati kopi dan seporsi mi bakso, karena musim durian belum singgah di Tangse.[]