Abdu Rahman memperlihatkan dua halaman tulisan tangannya itu saat jurnalis acehkini memasuki tenda sementara pengungsi Rohingya di Kulee, Pidie, Aceh, akhir November lalu.

Pengungsi Rohingya berusia 23 tahun ini menitip pesan agar ceritanya yang nyaris mati itu diketahui dunia. Dia dan ratusan pengungsi yang lain melalui perjalanan laut berbahaya selama 17 hari dari Bangladesh hingga akhirnya mendarat di Aceh—tempat yang Abdu Rahman sebut “disambut dengan ramah.”

Dia menggantung impian menjadi penulis, aktivis, dan jurnalis agar bisa membantu bangsanya yang tertindas. Sayangnya, cita-cita itu tak bisa diwujudkan di kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh karena akses pendidikan terbatas.

Abdu mengarungi Teluk Benggala dan Selat Malaka yang gemuruh demi kehidupan yang lebih baik—meski sejatinya dia hanya berpindah dari satu kesulitan ke kesulitan lain, dari kamp pengungsian ke kamp yang lain.

Sama seperti orang-orang di belahan dunia lainnya, Abdu Rahman ingin suatu saat dapat pulang ke tanah airnya di Rakhine, Myanmar. “Kami harus pergi ke tanah air dengan membawa keadilan dan hak,” katanya.

Berikut tulisan lengkap Abdu Rahman yang diterjemahkan redaksi acehkini:

Kolase tulisan tangan Abdu Rahman
Kolase tulisan tangan Abdu Rahman

Perjalanan dari kamp pengungsi Cox’s Bazar ke Indonesia. Alasan Rohingya mengapa harus mengungsi ke Indonesia.

Kondisi kehidupan di kamp pengungsi Cox’s Bazar pada awalnya sesuai. Seiring berlalunya waktu, situasinya menjadi sangat mengerikan. Hari demi hari.

Di dalam kamp tersebut terdapat beberapa kelompok kriminal yang saling berkelahi, dan orang-orang Rohingya yang tidak bersalah menjadi menderita.

Mereka melihat tidak ada masa depan sama sekali bagi anak-anak. Impian semua orang tua terhadap anak-anaknya tidak akan terwujud tanpa pindah ke tempat lain di mana mereka bisa mewujudkan semua impian tersebut. Karena tidak adanya akses pendidikan tinggi di Cox’s Bazar, Bangladesh.

Tentu seluruh masyarakat Rohingya sangat berterima kasih kepada pemerintah Bangladesh yang telah menampung seluruh masyarakat Rohingya dan kepada semua organisasi (PBB) seperti UNHCR, IOM, dan lain-lain.

Suatu ketika, kami pernah mengalami genosida brutal yang dilakukan militer Myanmar dan dipinggirkan dari berbagai pihak. Kini, masa depan tampaknya suram dan gelap.

Jadi para pengungsi melarikan diri ke negara lain untuk mencari kehidupan yang damai—menurut deklarasi hak asasi manusia universal: bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kewarganegaraan, dan lain-lain…

Bayangkan, Anda tidak punya rumah, tidak punya tanah, tidak punya kedamaian, tidak punya sekolah, tidak punya hak, tidak punya apa pun.  Bagaimana perasaanmu?

Hal inilah yang terjadi pada seluruh masyarakat Rohingya yang merupakan warga asli Myanmar tempat tinggal nenek moyang mereka.

Sekarang pemerintah yang brutal melarang mereka melakukan segalanya. Dunia tidak boleh melupakan para korban genosida ini dan komunitas internasional harus menjamin hak-hak orang Rohingya yang teraniaya dan membawa perdamaian serta keadilan bagi orang-orang Rohingya yang terpinggirkan.

Foto: Pengungsi Rohingya di Kantor Gubernur Aceh

 

“17 hari perjalanan dengan perahu di laut, dari Bangladesh ke Indonesia”

Hampir 300-an orang Rohingya dikumpulkan oleh para penyelundup manusia dari kamp pengungsi Cox’s Bazar. Ada 32 kamp yang berbeda, orang-orangnya tidak berasal dari kamp yang sama.

Mulai 1 November 2023, mereka mengumpulkan atau menghimpun masyarakat dengan cara mengambil uang. Dan orang-orang dipindahkan ke Teknaf dari kamp. Itu dekat teluk laut Benggala.

Selama beberapa hari mereka tinggal di hutan bersama para perampok. Mereka telah memukuli orang-orang dan memperlakukan mereka dengan buruk. Dan kemudian orang-orang tersebut dibawa ke perahu dengan perahu nelayan kecil.

Ketika perahu itu penuh dengan orang-orang yang dapat ditampungnya, mereka berangkat melakukan perjalanan melalui laut. Kami memerlukan waktu lima atau enam hari untuk mencapai laut Andaman. Saat kami sampai di sana terjadi badai disertai hujan deras, dan kami hampir mati semua.

Minggu pertama ransum kami sudah habis, tidak ada yang tersisa, tidak ada makanan, tidak ada beras, tidak ada air. Akhirnya kami menunggu hujan untuk minum air, kami hampir tidak bisa bertahan.

Itu adalah perjalanan yang mengerikan bagi kami semua. Perahu kami terhenti karena solar (atau) minyak sudah habis. Untungnya kami mendapat minyak solar dari perahu lain di laut dan tentu juga air.

Kami telah terapung berhari-hari di laut dan situasinya semakin buruk dari hari ke hari. Bahkan seorang wanita meninggal karena air. Dia tidak bisa mendapatkan air.

Setelah 17 hari kami akhirnya mendarat di sini di Aceh, Indonesia pada 19 November 2023.  Dan kami telah berlindung di sebuah masjid. Masyarakatnya sangat ramah dan baik hati, mereka menyediakan makanan dan air, semua kebutuhan pokok.

Kami sangat berterima kasih kepada masyarakat, pemerintah Indonesia, UNHCR, serta organisasi lainnya, yang dukungannya sangat berarti bagi kami. Karena kami terpinggirkan di negara kami sendiri di Myanmar.

Abdu Rahman di Kulee, Pidie, Aceh.
Penulis buku “Rohingya Odyssey” dan “Warrior’s Verse”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini