Oleh Usman Hamid
Saya sangat menyesalkan dan mengecam tindakan tidak manusiawi mahasiswa di Aceh terhadap para pengungsi Rohingya. Tindakan anti kemanusiaan itu harus dihentikan pihak berwajib.
Yang mendorong mereka bertindak tidak manusiawi tampaknya ujaran kebencian dan disinformasi. Dan Mereka tidak jujur pada sejarahnya sendiri.
Pada 1998, saya bersama @johnmuhammad_ dkk aktivis mahasiswa Trisakti dan aktivis berbagai kampus di Indonesia berkumpul di Aceh.
Begitu banyak mahasiswa Aceh cerdas, memiliki visi perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan. Ada yang terinspirasi oleh kejayaan historis Aceh sebagai Bangsa besar.
Ada yang karena banyak membaca buku-buku teologi dan etika pembebasan, atau tergerak oleh laporan hak asasi manusia ketika itu.
Tidak sedikit mahasiswa yang kurang baca tapi memiliki kepekaan dan solidaritas kemanusiaan universal.
Ketika itu kami menyuarakan pencabutan status Daerah Operasi Militer di Aceh, hingga menggalang dana di Jakarta lalu menyalurkan bantuan untuk para pengungsi di sejumlah wilayah Aceh, bahkan menyuarakan referendum jika negara tidak lagi sanggup menyelesaikan konflik Aceh secara damai.
Sebagian besar masalah orang Aceh ketika itu adalah masalah-masalah yang hari ini dihadapi oleh orang Rohingya hari ini—dengan skala beda, tapi pengalaman negatif diperlakukan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Hari ini—di tengah gelombang kritik mahasiswa di negara ini yang resah akan kemunduran demokrasi dan hak asasi—tiba-tiba sejumlah mahasiswa di Aceh bertindak kasar terhadap orang Rohingya yang sedang mencari keselamatan—seolah mahasiswa di Aceh kini tidak lagi memiliki kesadaran historis akan penderitaannya di masa lalu.
Mereka gagal paham soal sebab musabab orang Rohingya terdampar ke Aceh, lalu bertindak bagaikan robot-robot kosong etika.
Saya teringat Mohammad Hatta:
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.”
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia