Ganja Aceh, sebelum label haram disandangnya, kerap menjadi bumbu penyedap rasa. Tanaman yang tumbuh subur di Aceh dipakai juga untuk mengobati luka karena tersayat pedang atau tertembak peluru.
Hampir saban bulan, kabar tentang operasi ladang ganja di Aceh selalu hiasi media. Berhektare-hektare, dicabut lalu dibakar.
Mereka yang menanam ganja, bertujuan ingin cepat kaya karena harganya yang melambung tinggi. Apalagi dijual kepada para pecandu yang mencampurkannya dengan tembakau, dihisap sampai tenang.
Padahal, dahulu saat ganja masih legal di Aceh, tanaman itu bebas ditanam di kebun rumah, di sela-sela cabai dan kopi. Ada yang dipakai untuk penikmat rokok, bumbu penyedap agar masakan lebih nikmat, hingga digunakan sebagai obat.
Ganja (Cannabis Sativa) juga dapat digunakan sebagai obat bius. Pengetahuan ini saya dapatkan dari Sejarahwan Aceh, (Alm) Ridwan Aswad, yang fasih berbahasa Belanda.
Sebelum Ridwan meninggal pada 2008, mantan Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) kerap saya kunjungi, menjadi narasumber penting soal sejarah. Saya masih mengingat ceritanya yang didengar lisan dari ayah dan kakeknya, juga dalam kitab-kitab kuno Aceh.
Katanya, ganja Aceh adalah obat bius untuk pengobatan luka kala perang dengan Belanda. Konon saat pejuang Aceh terkena sabetan pedang maupun peluru Belanda dalam perang, ganja adalah obatnya.
Mereka mempergunakan ganja sebagai obat luka dengan cara menghaluskan daun ganja basah, lalu diperas airnya dan ditaruh pada luka tersebut.
Banyak pejuang yang berluka parah menyebabkan demam dan sakit karena infeksi ringan. Jika begini, mereka diminta tabib untuk mengunyah daun ganja basah seperti memakan sirih, meludahkan airnya ke luka-luka sampai tenang dan tertidur pulas. Begitulah ganja pengobat luka peluru.
Kalau ganja sebagai bumbu dalam makanan? Akh… ini bukan hal baru dan diam-diam masih dipakai hingga kini oleh sebagian kami di Aceh, memasak saat pesta maupun makanan dengan pesanan khusus.
Dulunya dalam memasak daging ayam, kambing maupun sapi, kaum ibu kerap menabur sedikit biji ganja yang telah dihaluskan ke dalamnya. Untuk membuat daging lebih empuk dan cepat matang.
Saya tak mau bercerita kisah selanjutnya saat rokok dicampur bunga ganja kering atau kerap disebut ‘bajing’ yang membuat halusinasi dan gairah makan bertambah. Saya yakin, sebagian besar perokok di Aceh dulunya pernah mencoba. Saya juga, tapi dulu.
Lain lagi kalau biji ganja dicampur kopi saat pengolahannya. Rasanya tak bisa digambarkan kata-kata. Ganja dicampur kopi tak berefek, selain untuk menguatkan rasanya. Zat kafein dalam kopi lebih kuat dibandingkan ganja, hanya saja campuran tak kelewat batas.
Yang jelas, untuk sekarang tanaman itu masih haram dibudidayakan dan dimanfaatkan dalam bentuk apapun di Indonesia.
Ganja disebutkan secara jelas sebagai barang haram dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal Narkotika Tahun 1961. Pemerintah kemudian menyempurnakan UU tersebut, melahirkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ganja dimasukkan dalam narkotika golongan I (satu).
Sebagian negara seperti Belanda, Spanyol, Canada dan terakhir sebagian negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan ganja untuk pengobatan maupun dikonsumsi bebas (porsi terbatas).
Namun di Indonesia sendiri masih belum legal. Kendati dilarang, tanaman itu tumbuh subur di wilayah-wilayah perbukitan Gayo Lues, Aceh Besar, Bireuen, Aceh Utara dan lainnya. Saban tahun, selalu ada penangkapan dan penemuan lahan. []