Sebanyak 500 orang dari 20 negara berkumpul dalam agenda Konferensi Internasional dan AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims” di Auditorium Ali Hasyimi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 14-17 Oktober 2023.
Agenda digelar selama empat hari tersebut, akan dihadiri perwakilan dari berbagai negara; Afghanistan, Australia, Bangladesh, Burundi, India, Indonesia, Iran, Kenya, Malaysia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Swedia, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat.
Direktur The Asian Muslim Action (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah mengatakan salah satu tujuan dari agenda ini adalah menyisir budaya beragama yang inklusif dengan menyediakan ruang pertukaran di antara muslim dan kelompok beragama serta berkeyakinan lainnya dari sejumlah negara. “Konferensi diharapkan menjadi barometer dunia untuk memikirkan atau membuat sebuah kebijakan dan praktik tentang budaya beragama yang inklusif, terutama menghadirkan pembelajaran baik dari Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/10/2023).
Pihaknya juga mendatangkan Nahdlatul Ulama (NU) bersama Muhammadiyah, khusus untuk membicarakan tentang religious inclusion dari kacamata dua organisasi besar ini. “Yang tentu saja ingin belajar, tidak mewakili seluruh Indonesia, tapi minimal dua civil society yang luar biasa ini telah berkontribusi sangat positif,” terang Ruby.
Menurutnya, sesi hari pertama menyediakan ruang bagi orang luar Aceh melihat Aceh secara lebih komprehensif, tidak hanya memandang Aceh dari cerita tsunami atau konflik. Mengingat bahwa saat ini telah terjadi banyak perkembangan di Aceh, terutama pascaperjanjian perdamaian damai di Helsinki. Maka, kekhasan Aceh, termasuk perkembangan positif dan tantangan-tantangan yang saat ini dihadapi Aceh akan ditujukan kepada dunia internasional, sehingga tidak memiliki persepsi yang keliru.
Dekan Fakultas Hukum dan Syariah UIN Ar-Raniry, sekaligus AMAN Council, Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, mengatakan melalui agenda ini, peserta akan diajak melihat Aceh lebih dekat dengan diskusi dan exposure visit ke beberapa tempat bersejarah dan gampong atau desa yang menjadi rangkaian acara, yaitu Museum Tsunami Aceh, Monumen Kapal Tsunami, Kuburan Tsunami Ulee Lheue, Desa Wisata Gampong Nusa Aceh dan Museum Rumah Cut Nyak Dien.
“Kunjungan tersebut diharapkan dapat membuka cara pandang yang selama ini diperoleh dari media, terutama dari influencer tentang Aceh,” katanya.
Isu-Isu yang Akan Dibahas
Inklusi keagamaan menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua masyarakat dunia. Konferensi Internasional selama dua hari mendatang dirancang untuk memberikan ruang pertukaran bagi umat Islam maupun agama dan kepercayaan lainnya, pemimpin agama, akademisi, aktivis, praktisi, media dan anak-anak muda dari organisasi dan komunitas untuk berbagi capaian, tantangan, termasuk praktik baik sejumlah isu terkait situasi keberagamaan di Asia dan dunia.
Mulai dari pencapaian umat Islam dalam mempromosikan kebebasan beragama, toleransi, dan perdamaian, termasuk mendukung kepemimpinan perempuan dan anak muda dalam pembangunan perdamaian serta mendiskusikan berbagai persoalan humanitarian, crisis, migrasi, dan perlawanan masyarakat dengan pendekatan negosiasi, serta kekerasan ekstremisme dari konteks anak muda dan perempuan, .
“Secara spesifik akan ada pembicaraan tentang Women, Peace and Security (WPS) oleh tokoh Muslim dunia. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1325 telah dikeluarkan pada 2000 dan diharapkan bisa menjadi kerangka pikir untuk menjawab persoalan-persoalan keamanan dan perdamaian di tingkat internasional,” tegas Ruby.
Forum ini akan menyediakan ruang khusus bagi anak muda bersuara dalam sesi Plenary Open Mic dengan tema “Reinventing Nonviolent Civil Resistance: Youth Peace Movement and Technology” untuk mendengar tanggapan anak muda di negara-negara di Asia tentang sejumlah isu yang berkaitan dengan budaya beragama yang inklusif, demokrasi dalam konteks pluralisme.
Di sesi paralel walk the talk, terdapat perbincangan khusus mengenai bagaimana anak muda menggunakan media sosial dalam gerakan sosial dan memerangi ujaran kebencian. Sementara itu, Anak-anak muda di Aceh sendiri memiliki segudang cerita dan pengalaman memperjuangkan keadilan bagi korban terdampak, terlebih kelompok rentan seperti perempuan dan anak menghadapi kekerasan berbasis gender, agama, ras, hingga persoalan krisis iklim.
Sejumlah Aktor Perdamaian Dunia Hadir
Dalam agenda yang berlangsung di UIN Ar-Raniry, turut hadir sejumlah aktivis perdamaian, di antaranya Qutub Jahan Kidwai, perwakilan dari India yang merupakan pimpinan dari Network for Education, Empowerment, Development and Awareness (NEEDA).
Dari benua Afrika, tepatnya Nigeria turut hadir secara virtual, Hamsatu Allamin yang menerima sejumlah penghargaan perdamaian dunia sejak 2016 karena menciptakan jaringan masyarakat sipil untuk perdamaian dan jaringan WPS “Voice of the Voiceless”, serta jaringan sosial korban penghilangan dan korban penculikan oleh Boko Haram.
Sejumlah aktivis interfaith juga turut memeriahkan gelaran konferensi mendatang, seperti Venerable Napan yang merupakan biksu asal Thailand dari The Institute of Buddhist Management for Happiness and Peace Foundation (IBHAP Foundation). Venerable telah bekerja sejak 2001 yang mendirikan For Beautiful Life Group (FBLG), sebuah kelompok biksu akademis dengan misi menerapkan ajaran Buddha untuk pengembangan diri dan sosial. []