Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) berharap masyarakat Aceh membantu pemerintah terkait relokasi pengungsi Rohingya. Sebab, sejumlah opsi tempat berupa gedung atau lahan milik negara yang ditunjuk pemerintah kerap menuai penolakan dari warga sekitar.
“Pemerintah sudah menunjuk tempat, warga kemudian menolak. Ketika warga menolak, lalu apa solusinya, warga juga tidak memberikan solusi akhirnya,” kata Faisal Rahman, anggota staf UNHCR di Aceh kepada acehkini Kamis kemarin.
Faisal memahami saat warga meminta relokasi pengungsi Rohingya yang berada di pantai atau sekitar lingkungan warga. Tapi, penolakan warga justru juga terjadi saat pemerintah menunjuk bangunan milik negara.
“Ketika itu juga diblokir, akhirnya tidak terjadi apa-apa per hari ini, semua [masih] di tempat masing-masing,” kata Faisal.
“Kami berharap masyarakat membantu pemerintah dalam hal ini menyelesaikan masalah yang ada.”
Karena penolakan ini, lebih dari seratus pengungsi Rohingya yang ‘dipingpong’ di daratan Aceh beberapa hari lalu saat ini masih di Balai Meuseuraya Aceh—seberang kantor gubernur. Mereka sempat dibawa ke gedung milik Dinas Sosial Aceh di Ladong, Aceh Besar, tetapi gerbang masuk kompleks itu diblokir sejumlah warga.
Menurut Faisal, penunjukan tempat bagi para pengungsi itu urusan pemerintah sesuai Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016. “Pergeseran [pengungsi] dari satu tempat ke tempat yang lain sepenuhnya wewenang pemerintah,” katanya.
Dia menekankan bahwa penanganan pengungsi Rohingya selama ini sangat sedikit membebani anggaran daerah.
“Semuanya [biaya penanganan] hampir kebanyakan dari kami,” kata Faisal.
Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki mengatakan pemerintah Aceh dan kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk menyediakan tempat bagi para pengungsi.
“Itu kewajiban kita, kemudian akan dibantu lembaga internasional untuk kegiatan yang lainnya,” katanya.
Achmad Marzuki mendengar masyarakat menolak pengungsi Rohingya karena pengungsi itu menempati kebun warga. Pengungsi yang menggunakan fasilitas mandi cuci dan kakus di sana disebut bikin masyarakat tidak nyaman.
“Sehingga terjadi ketidaknyamanan masyarakat Aceh terhadap kegiatan pengungsi itu, nah ini sedang kita cari jalan keluarnya,” katanya.
Sejak pertengahan November lalu, beberapa gelombang pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Jumlahnya kini lebih dari 1.500 orang.
Mereka pergi dari kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh dan melalui perjalanan laut berbahaya hingga akhirnya tiba di Aceh.
Orang-orang Rohingya menjadi etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Mereka diusir dan tak diakui warga negara di tanah airnya: Myanmar.
Bertahun-tahun, mereka hidup di kamp pengungsian di Bangladesh, jumlahnya lebih dari sejuta orang.[]