Muhammad Alom angkat kaki dari kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh. Ia membawa istri dan dua anaknya.
Situasi di kamp itu sekarang sedang tak aman. “Ada geng yang saling tembak. Orang mati hal biasa,” katanya, Senin kemarin, di Taman Sultanah Safiatuddin, Banda Aceh.
Saat malam tiba, geng dari Myanmar dan Bangladesh masuk ke kamp pengungsian. Bentrokan lalu meletus.
“Satu malam 4 sampai 6 orang mati,” katanya.
Menghindari perang antargeng, Muhammad menumpang perahu lalu melalui perjalanan laut: laut Benggala dan Selat Malaka yang gemuruh.
Ahad dini hari lalu, dia bersama 136 pengungsi Rohingya lainnya tiba di pantai Blang Ulam, Aceh Besar.
Kedatangan mereka menambah jumlah pengungsi Rohingya di Aceh yang total mencapai lebih dari seribu orang.
Di daratan Aceh, rombongan pengungsi ini justru ‘dipingpong’ tanpa kejelasan lokasi penampungan.
Muhammad tak punya tujuan pasti dari pelariannya itu.
Saat naik kapal bersama keluarganya, dia punya bayangan akan tiba di Thailand, Malaysia, dan Indonesia—kawasan tempat kapal-kapal mereka biasanya berlabuh.
“Ke mana saja,” katanya.
“Nasib baik sampai Aceh.”
Selama di laut, masalah utama adalah mesin kapal.
“Sekali hidup sekali mati,” katanya.
Muhammad tinggal di kamp Cox’s Bazar sejak 2017 setelah diusir dari tanah airnya di Rakhine, Myanmar. Militer negara itu membunuh orang Rohingya yang tak diakui sebagai warga negara.
“Banyak yang meninggal. Tanah semua sudah merah, orang-orang ditembak,” katanya.[]