Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh resmi dideklarasikan di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, pada Sabtu (14/9/2024) sore. Pembentukan KKJ Aceh hasil kolaborasi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk menjaga kebebasan pers.
Acara deklarasi ini juga diisi dengan diskusi tentang advokasi dan keamanan jurnalis melibatkan organisasi pers, seperti AJI Banda Aceh, PWI Aceh, IJTI, PFI Aceh, serta CSO seperti MaTA, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan Yayasan Tifa.
Erick Tanjung, Kepala Bidang Advokasi AJI Indonesia, yang juga Koordinator KKJ nasional, menekankan pentingnya kolaborasi antara jurnalis dan CSO untuk menciptakan ekosistem pers yang aman. Ia mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia terus meningkat, termasuk di ranah digital.
“Pada tahun 2022 tercatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan 14 di antaranya merupakan kekerasan digital. Angka ini meningkat pada tahun 2023, dengan 89 kasus kekerasan, di mana 15 di antaranya merupakan serangan digital,” kata Erick.
Menurutnya, kebebasan pers adalah mandat yang diberikan oleh rakyat kepada media, sebagai mata dan telinga untuk mengawasi persoalan yang ada di negeri ini.
Jurnalis di Aceh, menurut Nasir Nurdin, Ketua PWI Aceh, menghadapi banyak tantangan, terutama terkait intimidasi dan kriminalisasi. Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa jurnalis seringkali tidak memiliki kekuatan cukup untuk melawan ancaman ini jika organisasi pers bergerak sendiri-sendiri.
“Dengan hadirnya KKJ Aceh, kami berharap kita semakin kuat dalam menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi yang membuat pekerja pers merasa tidak nyaman,” kata Nasir.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Aulianda Wafisa, juga menyatakan dukungannya terhadap inisiatif KKJ Aceh. Ia menekankan pentingnya advokasi yang kuat untuk melindungi jurnalis dari ancaman kriminalisasi yang seringkali bertujuan untuk menghalangi pemberitaan kasus-kasus, seperti korupsi.
“Kami berharap KKJ dapat menjalankan dua peran penting: melindungi jurnalis dan menyelidiki substansi kasus yang mendasari kriminalisasi tersebut,” katanya.
Diskusi juga mencakup isu perlindungan terhadap narasumber. Erick menyoroti tren meningkatnya intimidasi terhadap narasumber dalam pemberitaan, khususnya pada kasus-kasus sensitif seperti korupsi.
“Tidak bisa narasumber dikriminalisasi. Ini berbahaya bagi kebebasan pers, karena tidak ada orang yang mau berbicara ke media soal isu sensitif, apalagi korupsi,” katanya.[]