Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) mengalami kendala berupa keterbatasan tempat penampungan sementara dalam menangani pengungsi Rohingya di Aceh. Wewenang penunjukan tempat disebut berada di pemerintah daerah.
“Sejauh ini, kendala selama ini, hanya tempat,” kata Faisal Rahman, anggota staf UNHCR di Aceh saat dihubungi acehkini, Kamis (14/12/2023).
Selain tempat, keperluan yang lain bagi pengungsi, seperti makanan minuman ditanggung UNHCR. “Kebutuhan dasar mereka tetap kami bantu pemerintah untuk penuhi,” katanya.

Karena itu, lebih dari seratus pengungsi Rohingya yang ‘dipingpong’ di daratan Aceh beberapa hari lalu saat ini masih di Balai Meuseuraya Aceh—seberang kantor gubernur. “Belum ada keputusan [terkait tempat] yang ditetapkan,” kata Faisal.
Menurut Faisal, penunjukan tempat bagi para pengungsi itu urusan pemerintah sesuai Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016. “Pergeseran [pengungsi] dari satu tempat ke tempat yang lain sepenuhnya wewenang pemerintah,” katanya.
Dia menekankan bahwa penanganan pengungsi Rohingya selama ini sangat sedikit membebani anggaran daerah.
“Semuanya [biaya penanganan] hampir kebanyakan dari kami,” kata Faisal.

Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki mengatakan pemerintah Aceh dan kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk menyediakan tempat bagi para pengungsi.
“Itu kewajiban kita, kemudian akan dibantu lembaga internasional untuk kegiatan yang lainnya,” katanya.
Achmad Marzuki mendengar masyarakat menolak pengungsi Rohingya karena pengungsi itu menempati kebun warga. Pengungsi yang menggunakan fasilitas mandi cuci dan kakus di sana disebut bikin masyarakat tidak nyaman.
“Sehingga terjadi ketidaknyamanan masyarakat Aceh terhadap kegiatan pengungsi itu, nah ini sedang kita cari jalan keluarnya,” katanya.

Sejak pertengahan November lalu, beberapa gelombang pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Jumlahnya kini lebih dari 1.500 orang.
Mereka pergi dari kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh dan melalui perjalanan laut berbahaya hingga akhirnya tiba di Aceh.
Orang-orang Rohingya menjadi etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Mereka diusir dan tak diakui warga negara di tanah airnya: Myanmar.
Bertahun-tahun, mereka hidup di kamp pengungsian di Bangladesh, jumlahnya lebih dari sejuta orang.[]