Sebuah kapal yang membawa sekitar 142 orang diduga pengungsi Rohingya dicegat otoritas keamanan di dekat Shaheed Dweep, Kepulauan Andaman, India, pada Ahad kemarin.
“Kapal tersebut berangkat dari Bangladesh sekitar 14-15 hari yang lalu dan sedang dalam perjalanan menuju Indonesia,” kata polisi setempat sebagaimana dikutip India Today.
Menurut India Today, Ahad pagi kemarin polisi Port Blair menerima informasi tentang pergerakan kapal mencurigakan di dekat Shaheed Dweep. Otoritas keamanan laut melakukan pencarian dan menemukan kapal itu.
“Mereka yang berada di dalamnya termasuk 47 perempuan dan 59 anak di bawah umur,” tulis media India itu.
Kapal itu ditarik ke Shaheed Dweep l oleh polisi laut setempat karena mengalami kendala teknis dan tidak layak untuk perjalanan lebih jauh.
Semuanya dibawa ke Port Blair dan ditempatkan di penampungan sementara oleh pemerintah setempat untuk mendapatkan instruksi lebih lanjut.
Sebelumnya, Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) menyerukan negara-negara di kawasan untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap kapal berisi 185 orang yang mengalami kesulitan dengan posisi terakhir di dekat Kepulauan Andaman dan Nicobar, India.
Perairan Andaman berbatasan langsung dengan perairan Aceh.
“Di antara mereka ada sekitar 70 anak-anak dan 88 perempuan. Setidaknya selusin dikhawatirkan berada dalam kondisi kritis dengan satu orang dilaporkan telah meninggal,” kata UNHCR.
Namun, sejauh ini belum ada informasi apakah kapal yang dicegat tersebut kapal yang sama seperti dimaksud UNHCR. “Anda harus menanyakannya kepada otoritas keamanan pantai India,” kata Babar Baloch, juru bicara UNHCR Asia Pasifik kepada acehkini, Senin (25/12/2023).
Sejak pertengahan November lalu, beberapa gelombang pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Jumlahnya kini lebih dari 1.500 orang.
Mereka pergi dari kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh dan melalui laut Andaman dengan situasi yang berbahaya hingga akhirnya tiba di Aceh.
Orang-orang Rohingya menjadi etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Mereka diusir dan tak diakui warga negara di tanah airnya: Myanmar.
Bertahun-tahun, mereka hidup di kamp pengungsian di Bangladesh, jumlahnya lebih dari sejuta orang.[]