Warga Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Aceh, mengenang 24 tahun syahid Teungku Bantaqiah dan puluhan santrinya. Peringatan digelar di Dayah Babul Mukarramah A’la Nurillah, Gampong Blang Meurandeh, Senin (23/10/2023).
Teungku Bantaqiah dan puluhan santrinya ditembak TNI di dayah tersebut pada Jumat, 23 Juli 1999. Sementara peringatan ini dihitung berdasarkan kalender Hijriah.
“Masyarakat Beutong Ateuh, para murid, dan keluarga memperingati hari syahid syuhada pada 1999 di Beutong Ateuh Banggalang, Teungku Bantaqiah saat itu ditembak aparat negara tanpa tahu kesalahannya,” kata Teungku Malikul Mahdi, putra almarhum Teungku Bantaqiah, kepada acehkini, Senin.
Kegiatan itu turut dihadiri mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka Muzakir Manaf dan sejumlah pejabat pemerintah kabupaten Nagan Raya. Prosesi turut diwarnai pengibaran bendera Perkumpulan Masyarakat Aceh Damai Berzikir (PM-ADAB), organisasi dipimpin putra almarhum Teungku Bantaqiah.
Menurut Teungku Malikul, kegiatan akan berlangsung sampai Selasa besok. “Nanti akan ditutup dengan doa dan zikir bersama,” katanya.
Pembantaian Tgk Bantaqiah dan puluhan santrinya sejarah kelam konflik Aceh, sebagai satu kasus pelanggaran HAM. Data KontraS mencatat 57 orang penghuni Pesantren Babul Al-Mukarramah menjadi korban, termasuk Tgk Bantaqiah.
Pembantaian bermula sekitar pukul 11.00 WIB, menjelang salat Jumat. Tgk Bantaqiah dan puluhan muridnya berada di balai pengajian ketika ratusan personel TNI mendatangi pesantren. Mereka berteriak memerintahkan semua orang berkumpul. Pesantren dicurigai menyimpan senjata, namun tuduhan itu tak pernah terbukti.
Sempat terjadi dialog antara Bantaqiah dan aparat, namun tak diketahui isinya. Tiba-tiba, sejumlah tentara melepaskan tembakan. Teungku memberi aba-aba agar warga dan santrinya tiarap untuk menghindari tembakan.
Panik, tangisan, teriakan beradu di antara desing peluru. Tgk Bantaqiah tersungkur di tembakan ketiga. Menjelang salat Jumat, kompleks balai pengajian Teungku Bantaqiah berubah menjadi ‘ladang’ pembunuhan.
Data KontraS dan Koalisi NGO HAM Aceh, kasus itu mendapat sorotan serius dari negara. Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 88 Tahun 1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak kekerasan di Aceh (KIPTKA). Kasus tersebut termasuk yang diusut, hingga sejumlah pelaku diadili lewat Pengadilan Koneksitas.
Sebanyak 25 prajurit TNI diajukan ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sidang perdana Pengadilan Koneksitas di Banda Aceh digelar Rabu, 19 April 2000. Hanya satu orang penanggung jawab pembantaian yang tak mampu dihadirkan ke pengadilan, Letnan Kolonel Sudjono, saat itu menjabat Pasie Intel Korem 011/Lilawangsa, sampai kini keberadaannya masih misteri.[]