Semburat jingga di kawasan titik nol kilometer Kota Banda Aceh, belum redup. Meski waktu sudah nyaris tiba pukul 19.00 WIB, Rabu (8/3/2023). Di kali langit, matahari baru saja menghilang. Dan berparak dengan orang-orang yang bergerak pulang dari tepi laut.
Titik nol ini bukan di Sabang, kawasan wisata yang terkenal itu. Tapi di sekitar perbatasan Gampong Jawa dan Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja. Tepat di ujung daratan Pulau Sumatra. Tidak begitu jauh dari muara Krueng Aceh.
Kawasan Gampong Jawa memang sudah lama masyhur tempat mengantar mentari kembali ke peraduan. Tidak sekadar sambil mereguk kopi, tapi bisa sembari menemani para nelayan menarik pukat–menangkap ikan dengan menarik jaring di laut ke pantai.
Terpaut sekitar 50 meter dari pantai berpasir hitam, titik nol kilometer itu sekarang sudah berubah. Dulu hanya rawa ditumbuhi ilalang, kini sebuah tugu telah menjulang. Bentuknya berupa delapan tiang berkelir putih menyangga tulisan berwarna merah, “Kilometer Nol Kota Banda Aceh”. Di tengahnya, ada angka nol agak besar.
Bukan saja tugu, kompleks itu memiliki ruang terbuka yang luas dan bangunan terbuka yang tak berdinding. Sore itu, areal itu jadi ruang bermain anak-anak yang bergerak bebas berlari ke sana kemari.
Lantas, mengapa disebut titik nol kilometer Banda Aceh?
Lebih dari delapan abad silam, tanah inilah tapak awal pendirian Kota Banda Aceh. Sejarah mencatat, pendirian dilakukan pada Ramadan 601 Hijriah atau 1205 Masehi oleh Sultan Alaiddin Johan Syah. Kala itu kota ini jadi ibu kota Kesultanan Darussalam–yang kelak berganti Aceh Darussalam.
Berikut foto-fotonya:


