Sepi dan tak ada pengunjung. Begitulah yang terlihat ketika acehkini menginjakkan kaki di sebuah salon kecantikan di Jalan Sisingamaraja, Desa Gampa, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Jumat (20/11). Di samping kiri muka salon, sang pemilik tempat kecantikan itu duduk sambil jarinya menari di layar gawai.
“Beginilah kak, sekarang memang sepi,” katanya mengawali obrolan. Ia adalah seorang transpuan. Karena menolak namanya aslinya ditulis, maka sebut saja Karin.
Salon yang dikelola Karin turut terkena imbas wabah corona. Selama pandemi pelanggan salon menurun drastis. Meski sepi, Karin mau tidak mau tetap harus membuka usahanya itu saban hari. Bila kemudian terpaksa tutup, Karin bakal kelimpungan mencari sumber penghasilan lain.
“Saya memang tidak punya pekerjaan lain, selain berharap dari salon ini,” tutur Karin.
Karin sudah bergelut dalam usaha kecantikan sejak mendirikan salon itu pada 2010 silam. Dalam satu dekade ini, pendapatan dari salon mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Namun, pandemi membuat usahanya nyaris gulung tikar.
“Merosot 70 persen, selama pandemi ini, yang paling parah waktu awal pandemi kemarin pas sekitar bulan 3 itu sudah mulai, ” ujarnya.
Sekarang pelanggan yang datang ke salon hanya untuk memangkas rambut. Sebelum pandemi, pengunjung salon masih sering meminta jasa Karin untuk make-up dan perawatan kecantikan lainnya. Di waktu tertentu, terkadang ia mendapat pesanan untuk merias pengantin. Tapi, lagi-lagi, pesta pernikahan sudah tentu tak bisa digelar di tengah corona.
“Sekarang kita bertahan hanya dipangkas rambut,” sebutnya.
Penghasilan dari pemotongan rambut disebut hanya mencukupi biaya operasional salon. Misalnya, biaya listrik dan perawatan peralatan. Sementara untuk kebutuhannya sendiri, Karin harus memutar otak agar tetap tercukupi. Ia misalnya mulai mengurangi pengeluaran uang untuk hal-hal yang tidak begitu penting.
“Begitulah susahnya,” ujar Karin. []
Note: Tulisan ini pertama kali tayang di ACEHKINI.ID (partner resmi Kumparan.com di Aceh)