Tabuhan demi tabuhan alat musik rapai meramaikan malam di Gampong Blang Meurandeh, Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Ahad (17/9/2023). Para pemain rapai dalam sebuah kenduri itu beberapa laki-laki yang duduk melingkar.
Alat musik tradisional Aceh itu dipangku lalu dipukul bertalu-talu sesuai irama. Selawat hingga zikir lantas mengiringi setiap ketukannya. “Bermain rapai ini untuk mengingat kepada Allah,” kata Teungku Malikul Mahdi, tokoh Beutong Ateuh, Senin (18/9/2023).
Bermain rapai sambil berzikir ini disebut Rapai Tuha. Menurut Teungku Malikul, warga Beutong Ateuh akan menggelar tradisi ini saat acara penting. Misalnya, kenduri mengenang 40 hari orang meninggal dan kenduri jeurat (makam).
Bagi warga Beutong Ateuh, rapai jadi salah satu cara dalam mengingat Allah, selain melalui meurateb (berzikir) dan membaca Al-Qur’an. “Maka biasanya ini dilakukan bertepatan dengan acara yang sakral karena condong kepada zikir,” kata putra almarhum Teungku Bantaqiah ini.
Alasan inilah yang membuat Rapai Tuha berbeda dengan top daboh atau debus yang juga ada di Beutong Ateuh. Dalam top daboh, suara rapai mengiringi aksi pertunjukan kekebalan tubuh dari pisau. Biasanya dengan menusuk dan menyayat.
“Rapai Daboh digelar di pesta (kenduri perkawinan) atau sunat rasul (kenduri menjelang anak dikhitan di Aceh),” kata Teungku Malikul. “Rapai Tuha lebih kepada mengingat Allah dan salah satu cara mengekspresikan cinta kepada Allah.”
Menurut Fuadi dalam buku Relasi Zikir dengan Rapai: Analisis Filosofis tentang Zikir Rapai Tuha di Nagan Raya (2016), di kabupaten Nagan Raya tradisi berzikir memakai rapai cukup terkenal. Rapai 12 atau Rapai Sufi menjadi sebutan lainnya.
“Kenapa Rapai Sufi? Sebab zikir Rapai Sufi lebih banyak dibacakan pada saat “peh rapai” adalah zikir-zikir tasawuf atau zikir-zikir amalan kaum sufi,” tulis Fuadi.
Dia menjelaskan bahwa rapai berasal dari Baghdad (Irak) yang dibawa Ahmad Ar-Rifai, seorang sufi terkemuka juga murid Syekh Abdul Qadir Jailani yang menggunakan rapai dalam tarekat sufi.
“Syair dan zikir yang dilantunkan oleh khalifah rapai zikir asalnya dari Syekh Abdul Qadir Jailani,” tulisnya.
Fuadi melihat ada hubungan yang kuat antara zikir dan rapai dalam Rapai Tuha. Misalnya, nilai seni yang kuat di rapai, baik suara dan bentuknya, mendorong orang untuk berzikir hingga memahami Islam.
Hubungan zikir dari unsur budaya merupakan sebuah pengakuan bahwa Islam menghargai budaya, tradisi, dan kreasi akal manusia, sehingga lahirlah budaya seperti rapai zikir. “Budaya bisa mengantarkan pemahaman masyarakat kepada pelaksanaan ibadah zikir yang rutinitas kepada yang Ilahi,” tulis Fuadi.[]