Jam malam sedang berlangsung di Aceh, ditetapkan Forkopimda Aceh sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19. Tentara menjaga jalan, mengawal agar warga tak keluar rumah. Nuansa darurat militer di jalanan.
Dari jauh, kulihat tentara itu tak bersenjata. Dia berdiri di samping sepeda motornya yang diparkir melintang jalan, menjadi portal di ujung jembatan flyover, Simpang Surabaya, Banda Aceh. Jam masih menunjukkan pukul 9 malam, Rabu (1/4/2020).
Saat melihat mobil kami, TNI itu memberi kode untuk mengambil jalur bawah. Aku menghentikan mobil tepat di sampingnya, dia sigap menunggu kami turun. TNI itu seorang diri di sana, matanya ramah, mulutnya tertutup masker kain kuning bermotif lucu. “Kami wartawan, izin mengambil gambar suasana jam malam,” kataku.
“Oh boleh bang, silakan,” jawabnya. Aku kemudian bertanya titik mana saja yang dijaga, TNI itu menjelaskan dengan baik.
Malam itu, bersamaku ada Suparta, fotografer dan Abdul Hadi, pilot drone serta Zuhri, reporter kumparan di Aceh ingin mengambil selengkapnya suasana jam malam yang diberlakukan karena wabah virus corona. “Ini momen penting, jam malam karena corona, tidak selalu ada,” kata Abdul Hadi.
Bagiku, ini adalah nostalgia pada liputan masa lalu, saat konflik masih mendera Aceh. Salah satu momen puncak pemberlakukan jam malam kala perang, adalah ketika Aceh berstatus Darurat Militer, yang dimulai sejak 19 Mei 2003. Jalanan sepi, kontak senjata di mana-mana, dan orang-orang mati.
Kondisinya sama, tapi tak persis. Hal yang paling kontras terlihat adalah TNI tak menenteng senjata saat mengawal jam malam. Mereka hanya berbekal pentungan panjang dan masker sebagai pelindung. Dulunya, lengkap senjata dengan baju anti peluru.
Liputan Jam Malam di Aceh: Kuasa Corona ‘Mengusir’ Warga (1)
Setelah mengambil gambar di ujung jembatan flyover, kami permisi menyusuri jalan bawah jembatan. Hanya beberapa beberapa meter, terlihat TNI lebih banyak. Portal jalan ke arah Gampong Peuniti, tertutup. Dua tentara mengarahkan kami untuk berbelok, tapi aku justru memarkirkan mobil dekat portal yang dipasang.
Kami turun, lalu meminta permisi untuk mengambil gambar. Lalu bebas mondar-mandir di sana. Beberapa rekan wartawan menyusul bergabung memantau suasana. “Malam ini sudah lumayan sepi, padahal masih setengah 10, malam sebelumnya masih rame warga yang lalu-lalang. Mungkin sudah tersosialisasi jam malam dengan baik,” kata Busri, seorang TNI di sana.
Saat bertugas, TNI lebih ramah menghadapi warga. Mereka memberikan sosialisasi cegah virus corona, sambil meminta baik-baik warga untuk kembali ke rumah. Pemandangan ini, sangat beda dengan jam malam kala Darurat Militer.
Jalanan sepi, beberapa anak-anak yang tinggal di pertokoan sekitar terlihat bermain sepeda. Suparta dan Zuhri sibuk memotret, Abdul Hadi sedang mengendalikan drone yang terbang di atas sana. Aku duduk ngobrol dengan seorang tentara, Asrafil namanya. Dari raut mukanya, kuperkirakan umur kami sebaya.
Asrafil menunjuk seperangkat peralatan yang ditaruh di trotoar tengah jalan. Kompor dan belanga. “Untuk memasak kopi dan indomie nanti sambil berjaga, logistik kami,” katanya.
Dia mengaku pernah tugas di beberapa daerah Indonesia, termasuk di Papua. Aku memancingnya soal kenangan pada jam malam kala Darurat Militer di Aceh. “Abang pernah bertugas di sini dulu saat darurat militer? Ini seperti nostalgia bagi kita,” tanyaku.
Dia tak menjawab panjang, tapi tersenyum sambil menerawang menjeda obrolan. “Iya, saya dulu juga bertugas di sini saat konflik,” katanya. []